BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Thaharah
adalah satu kitab atau bab di dalam ilmu fiqh yang menjadi kajian utama oleh
para ulama fiqh pada setiap buku atau kitab yang mereka tulis, karena memang
kesempurnaan thoharah adalah faktor yang sangat menentukan diterima ataukah
tidak ibadah seseorang dihadapan allah SWT. Diceritakan oleh Abu Hurairah. r.a
dari Rasulullah Saw bahwa ada dua kuburan yang penghuninya sedang diazab oleh
Allah dengan azab yang pedih dan salah satu penyebabnya adalah karena tidak
memperhatikan masalah istinja’ atau thaharah.
Thaharah
adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, karena seseorang
yang beribadah kepada Allah tanpa adanya thaharah terlebih dahulu maka ibadah
seseorang tersebut tidak diterima disisi yang kuasa, dan thaharah pun juga
berpengaruh dalam kesehatan seseorang. Maka dari itu dalam mempelajari ilmu
fiqih hal yang paling utama yang harus kita pelajari adalah masalah thaharah.
Oleh sebab itu dalam makalah ini penulis akan sedikit memaparkan masalah
thaharah dengan harapan semoga ibadah-ibadah yang akan kita lakukan terutama
ibadah sholat dapat diterima disisi Allah SWT, Amin Yaa Robbal ‘alamin.
B.
Rumusan Masalah
Dari makalah
yang kami buat ini, yang dapat kami paparkan adalah sebagai berikut:
1.
Apa
thaharah itu?
2.
Bagaimana
cara bersuci dari hadast?
3.
Bagaimana
cara bersuci dari najis?
4.
Apa
saja nilai-nilai thaharah dalam kehidupan sehari-hari?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Thaharah
Kata thaharah adalah bahasa Arab
yang dapat diartikan bersuci dari kotoran, baik kotoran yang bersifat hissy (indrawi)
maupun hukmi (secara hukum). Dalam istilah fiqih diartikan membersihkan
badan, pakaian dan tempat kita dari najis sebelum melaksanakan ibadah seperti
shalat atau thawaf dalam ibadah haji dan sebagainya.[1]
Bersuci atau thaharah hukumnya
wajib, berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Firman Allah dalam
Al-Qur’an yang Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat
dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S. Al-Baqarah:222).
1.
Pembagian Thaharah
Dilihat dari segi sifatnya, thaharah
atau bersuci dapat dibedakan menjadi dua yaitu bersuci lahir dan batin.
Bersuci batin adalah mensucikan diri
dari dosa dan maksiat. Cara mensucikannya dengan bertaubat yang sungguh-sungguh
dari segala dosa.
Kebersihan lahir adalah bersih dari
kotoran (najis) dan dari hadats. Kebersihan dari kotoran (najis) cara
menghilangkan dengan kotoran itu pada tempat ibadah, pakaian yang dipakai dan
pada badan seseorang. Sedangkan kebersihan dari hadats dilakukan dengan
mengambil air wudhu atau mandi. Kebersihan lahiriah dapat diperjelas lagi
menjadi dua yaitu bersuci dari najis dan bersuci dari hadats.[2]
2.
Alat-alat yang Dipergunakan dalam Thaharah
Berbicara mengenai bersuci, maka
tidak dapat melepaskan alat-alat yang digunakan untuk bersuci. Alat bersuci ini
adakalanya berupa benda cair seperti air, dan adakalanya berupa benda selain
air.
a.
Air
dan macam-macamnya
Tidak semua jenis air boleh
digunakan untuk bersuci. Berikut ini macam-macam air dan hukumnya:[3]
a)
Air
yang suci dan menyucikan; air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk
menyucikan (membersihkan) benda yang lain.
b)
Air
suci tetapi tidak menyucikan; zatnya suci, tetapi tidak sah dipakai untuk
menyucikan sesuatu.
c)
Air
yang bernajis; air yang termasuk bagian ini ada dua macam:
Air yang lebih
dari dua kulah (kurang lebih 80 liter) yang kemasukan najis dan berubah salah
satu sifatnya (warna, rasa dan baunya), hukumnya seperti najis. Banyaknya air
dua kulah adalah air yang berada pada tempat yang berukuran 1 seperempat hasta
baik panjang, lebar maupun dalamnya.
Apabila air
yang kemasukan najis itu lebih dari dua kulah, tetapi sifatnya tidak berubah
hukumnya tetap suci dan mensucikan.
d)
Air
yang makruh; yaitu yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas
atau perak. Air ini makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk
pakaian; kecuali air yang terjemur di tanah, seperti air sawah, air kolam, dan
tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.
b.
Alat
bersuci selain air
Pada dasarnya, hanya air suci dan
mensucikan saja yang dapat dipakai sebagai alat bersuci. Akan tetapi dalam
keadaan tertentu, seperti tidak ada air, sakit, bepergian dan lain-lain, benda
selain air dapat kita pergunakan untuk bersuci. Contoh: tanah yang bersih, batu
atau benda-benda kesat lainnya.[4]
B.
Thaharah dari Hadast
Thaharah dari hadast ada tiga macam
yaitu wudhu, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air
mutlak untuk wudhu dan mandi serta tanah yang suci untuk tayammum.
1.
Wudhu
menurut bahasa berarti baik dan bersih.
Sedangkan menurut istilah syara’ wudhu adalah membasuh muka, dan kedua tangan
sampai siku, mengusap sebagian kepala dan membasuh kaki didahului dengan niat
dan dilakukan dengan tertib.[5]
Allah berfirman dalam al-Qur’an,
artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan
sholat , maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan ke dua mata kaki” (Q.S.
Al-Maidah:6).
Adapun syarat-syarat wudhu sebagai
berikut;
a.
Islam
|
b.
Mumayiz
|
c.
Tidak
berhadas besar
|
d.
Dengan
air yang suci mensucikan
|
e.
Tidak
ada yang menghalangi sampainya air ke kulit
|
Fardhu (rukun) wudhu
sebagai berikut;
a.
Niat
|
b.
Membasuh
muka
|
c.
Membasuh
kedua tangan sampai ke siku
|
d.
Membasuh
sebagian kepala
|
e.
Membasuh
dua telapak kaki sampai kedua mata kaki
|
f.
Menertibkan
rukun-rukun diatas
|
Beberapa sunnah wudhu,
antara lain;
a.
Membaca
“bismillah” pada permulaan wudhu.
b.
Membasuh
kedua telapak tangan sampai pada pergelangan, sebelum berkumur-kumur.
c.
Berkumur-kumur.
d.
Memasukkan
air ke hidung.
e.
Membasuh
seluruh kepala.
f.
Membasuh
kedua telinga.
g.
Mendahulukan
anggota kanan daripada kiri.
h.
Berdoa
setelah selesai wudhu
i.
Dll.
Hal-hal yang membatalkan wudhu adalah sebagai berikut;[6]
a.
Keluar
sesuatu dari qubul atau dubur.
b.
Hilang
akal karena mabuk atau gila.
c.
Bersentuhan
kulit laki-laki dengan kulit perempuan.
d.
Menyentuh
kemaluan dengan telapak tangan.
2.
Mandi
Dalam syariat Islam yang dimaksud
dengan mandi adalah meratakan air yang suci pada seluruh badan dengan disertai
niat. Dengan demikian niat merupakan hal yang membedakan antara mandi biasa dengan
mandi wajib (janabah). Disyaratkannya mandi berdasarkan firman Allah dalam
Al-Qur’an yang artinya: “Apabila kamu sekalian dalam keadaan junub maka
madilah” (Q.S. Al-Maidah:7).[7]
Adapun cara melakukan mandi wajib
adalah sebagai berikut: Pertama, membasuh kedua tangan dengan niat yang ikhlas
karena Allah, kemudian membersihkan kotoran yang ada pada badan, setelah itu
berwudhu dilanjutkan dengan menyiram rambut dengan air sambil menggosok dan
menyilanginya dengan jari, jika perlu gunakan wangi-wangian seperti sampo dan
sebagainya.
Selanjutnya menyiram seluruh badan
dengan mendahulukan anggota badan sebelah kanan dan menggosoknya dengan merata.
Ketika mandi hendaknya jangan menghamburkan air, apabila telah rata dan bersih
maka mandi dikatakan selesai.
Dalam cara diatas dapat dibedakan
perbuatan yang termasuk rukun dan sunah sebagai berikut:[8]
a.
Niat;
yaitu berniat menghilangkan hadast besar untuk melakukan ibadah karena Allah.
b.
Meratakan
air ke seluruh tubuh dengan keyakinan orang yang mandi bahwa air sudah diratakan
pada seluruh tubuh.
Adapun yang termasuk sunah mandi adalah:
a.
Membaca
“bismillah” pada permulaan mandi
|
b.
Menyapu
tangan
|
c.
Membersihkan
dan membasuh kemaluan
|
d.
Berwudhu
sebelum mandi
|
Sebab-sebab wajib mandi:
a.
Bersetubuh
|
b.
Mengeluarkan
mani dalam mimpi bersetubuh
|
c.
Selesainya
haid dan nifas
|
d.
Orang
yang masuk Islam
|
e.
Orang
yang meninggal dunia
|
|
3.
Tayammum
Tayammum menurut bahasa sama dengan
qasad artinya menuju. Menurut pengertian syarat, tayammum adalah menuju kepada
tanah untuk menyapukan dua tangan dan muka dengan niat agar dapat mengerjakan
sholat.[9]
Adapun syarat tayammum adalah:
a.
Sudah
masuk waktu shalat
b.
Sudah
berusaha mencari air, tetapi tidak mendapatkannya sedang sudah masuk waktu
sholat.
c.
Tayammum
hendaknya dengan tanah yang suci dan berdebu.
Sedangkan fardhu atau rukun tayammum
adalah:
a.
Niat
b.
Menyapu
muka dengan tanah
c.
Menyapu
kedua tangan sampai siku
d.
Menertibkan
rukun
C.
Thaharah dari Najis
Perkataan najis dalam bahasa Arab
diartikan sesuatu yang kotor atau tidak bersih. Berdasarkan arti bahasa tersebut
dapat dikatakan bahwa segala benda yang menurut pandangan kita kotor berarti
termasuk najis.[10]
1.
Barang-barang yang najis
Barang-barang yang najis adalah
kotoran yang wajib untuk disucikan bagi tiap muslim, apabila mengenai dirinya,
pakaian dan tempatnya. Adapun barang-barang yang terbilang najis diantaranya;
a.
Bangkai
binatang, yaitu bangkai binatang darat yang berdarah sewaktu hidupnya.
b.
Darah
yang mengalir, seperti darah binatang yang disembelih.
c.
Air
kencing dan kotoran.
d.
Arak
e.
Babi
dan Anjing
f.
Darah
haid, nifas dan istihadhah termasuk barang najis menurut kesepakatan ulama.
2.
Cara membersihkan barang najis
a.
Najis
ringan (Mukhaffafah), yaitu najis yang cara menyucikannya cukup dengan
memercikkan air kepada benda yang dikenainya. Contoh kecing bayi yang belum makan
makanan kecuali air susu ibunya.
b.
Najis
sedang (Mutawassithah), yaitu najis yang cara menyucikannya dengan membersihkan
najis itu terlebih dahulu, kemudian mengalirkan air kepada tempat yang
dikenainya.
c.
Najis
berat (Mughalladhah), yaitu najis yang harus dibersihkan dengan air sebanyak
tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah. Contoh jilatan anjing dan
babi.[11]
D.
Nilai – Nilai Thaharah Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Banyak nilai yang terkandung dari
thaharah itu sendiri, di antaranya yaitu dari segi kesehatan, psikologi, dan
keindahan lingkungan.
1.
Thaharah dari segi kebersihan dan keindahan lingkungan
Ajaran
kebersihan tidak hanya merupakan slogan atau teori belaka, tetapi harus
dijadikan pola hidup praktis, yang mendidik manusia hidup bersih, indah dan sehat
sepanjang masa, bahkan dikembangkan dalam hukum Islam. Karena antara kebersihan
dan kesehatan sangat erat hubungannya. Dalam suatu pepatah dikatakan bahwa
“kebersihan pangkal kesehatan”. Dalam rangka inilah dikenal sarana-sarana
kebersihan yang termasuk kelompok ibadah, seperti : wudhlu, tayamum, mandi
(ghusl), pembersihan gigi (siwak). Thaharah juga mempunyai implikasi terhadap
keindahan lingkungan. Ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia,
yaitu lingkungan pisik, lingkungan manusia, dan lingkungan keluarga. Lingkungan
fisik yang terdiri dari alam yang berada di sekitar kita. Lingkungan manusia
adalah orang-orang yang interaksi dengan kita baik langsung maupun tidak
langsung. Secara lebih kecil lagi adalah lingkungan keluarga yang sangat
mempengaruhi kehidupan seseorang terutama pada masa-masa awal dari
kehidupannya. Dalam hubungannya dengan hukum Islam kebersihan dan keindahan
lingkungan ini merupakan wujud nyata dari ajaran thaharah. Sebagai contoh,
menurut syara‟ seseorang dilarang melakukan buang air besar atau kecil di
tempat-tempat tertentu, seperti di bawah pohon tempat orang berteduh, ke dalam
saluran air, di tengah jalan dan lobang-lobang binatang yang terdapat di dalam
tanah. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan serta menjaga
kebersihan. Sehingga nilai etika dan estetika dari thaharah itu sendiri dapat
terwujud.
2.
Thaharah dari segi kesehatan
Pandangan kedokteran terhadap wudlu.
Wudlu adalah perbuatan thaharah dengan cara mencuci bagian-bagian tubuh
tertentu (anggota wudlu) sesuai syariat islam (syariat dan rukun).
Kita dapat memahami bahwa anggota
wudlu yang dibasuh adalah bagian-bagian tubuh yang biasanya terpapar pada dunia
luar. Bagian-bagian tersebut umumnya tidak tertutup pakaian, bahkan memang
menjadi alat kontak tubuh kita dengan lingkungan, sehingga paling banyak
mengalami kontaminasi (kotoran) dan oleh karena inilah yang secara logis paling
perlu dibasuh. Inilah aspek hygiene memandang wudlu.
Secara anatomis anggota wudlu
terletak pada ujung-ujung tubuh (kepala, tangan, kaki). Bagian-bagian tersebut
paling banyak mengandung susunan tulang dan sendi, dan banyak pula melakukan
gerakan-gerakan. Dalam kaitanya dengan wudlu, dimana pembasuhan anggota wudlu
kebanyakan 3 kali, ada yang 1 kali, maka timbul suatu pertanyaan: “adakah rahasia
matematis hubungan wudlu dengan susunan tulang dan sendi?”. Jumlah tulang
manusia dewasa ada 206 ruas. Akan tetapi secara embriologis pusat penulangan
semasa kehidupan janin dalam kandungan ada 350-an pusat penulangan, yang kemudian
banyak pusat-pusat penulangan yang menyatu, membentuk satu tulang dewasa.
Bilangan pusat penulangan ini dekat dengan bilangan hari dalam 1 tahun.[12]
Sampai saat ini masih dalam kajian,
akan adanya rahasia matematis tersebut. Ada 2 premis (dari Hadits) :
1.
Apabila
kamu ditimpa demam 1 hari, kemudian kamu bersabar, kamu akan mendapat pahala
seperti ibadah 1 tahun
2.
Tiap-tiap
ruas tulang anak adam itu sedekahnya setiap hari.
Dari 2 premis tersebut dapat
dihubungkan , bahwa tubuh ini mengandung tulang sejumlah bilangan hari dalam
setahuan. Tulang-tulang penyusun anggota wudlu jumlahnya tertentu, dikalikan
masing-masing dengan jumlah kali pembasuhan pada ritual wudlu, akan ketemu
jumlah sama dengan bilangan kseluruhan jumlah tulang manusia. Dengan demikian,
membasuh anggota wudlu pada ritual wudlu ini seakan-akan sudah membasuh seluruh
tubuh.
3.
Thaharah dari segi psikologi
Prof Rolf Ehrenfels, seorang
neurolog dan psikolog tersohor Eropa, pernah secara khusus mendalami konsep
thaharah, khususnya wudhu. Ia sangat takjub karena konsep thaharah dalam Islam
amat sesuai dengan konsep neurologi dan psikologi.
Air sejuk yang dianggap suci dan
menyucikan akan memberikan efek positif pada kesegaran simpul-simpul saraf
dalam tubuh.
Air segar dan sejuk lebih sensitif
memberikan rangsangan kepada pusat saraf daripada air hangat. Air sejuk akan
lebih mudah memberikan semacam shock therapy dan menembus lapisan saraf.
Mencuci sekujur badan dengan air
sejuk seusai melakukan hubungan suami istri akan mengembalikan otot-otot dan
sel-sel saraf yang tadinya tegang menjadi segar kembali.
Perempuan yang sudah menjalani
menstruasi secara psikologis akan merasa bersih dan suci seusai mandi wajib
serta dengan demikian melahirkan kembali rasa percaya diri seusai menjalani
“masa kotor”.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kata
thaharah adalah bahasa Arab yang dapat diartikan bersuci dari kotoran, baik
kotoran yang bersifat hissy (indrawi) maupun hukmi (secara
hukum). Dalam istilah fiqih diartikan membersihkan badan, pakaian dan tempat
kita dari najis sebelum melaksanakan ibadah seperti shalat atau thawaf dalam
ibadah haji dan sebagainya. Bersuci atau thaharah hukumnya wajib, berdasarkan
al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Firman Allah dalam Al-Qur’an yang
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S. Al-Baqarah:222).
2.
Thaharah
dari hadast ada tiga macam yaitu wudhu, mandi, dan tayammum. Alat yang
digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu dan mandi serta tanah
yang suci untuk tayammum.
3.
Perkataan
najis dalam bahasa Arab diartikan sesuatu yang kotor atau tidak bersih.
Berdasarkan arti bahasa tersebut dapat dikatakan bahwa segala benda yang
menurut pandangan kita kotor berarti termasuk najis. Najis diklasifikasikan
dalam 3 macam;
Najis ringan (Mukhaffafah), Najis sedang (Mutawassithah), Najis
berat (Mughalladhah)
4.
Banyak
nilai yang terkandung dari thaharah itu sendiri, di antaranya yaitu dari segi
kesehatan, psikologi, dan keindahan lingkungan.
B.
Penutup
Demikian makalah ini
kami buat. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pembahasan makalah
ini kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk
lebih baiknya makalah yang kami buat selanjutnya. Selamat membaca dan semoga
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Falah, Ahmad.
2009. Materi dan Pembelajaran Fiqih. Kudus: STAIN Kudus.
Rasjid,
Sulaiman. 2013. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/06/17/n7b3ti-thaharah-perspektif-ahli-neurologi-dan-psikologi-1, diakses pada tanggal 1 Maret 2015, pukul 10.00 WIB
https://perawattegal.wordpress.com/2010/12/08/rahasia-thaharah-wudlu-shalat-dan-dzikir-dalam-tinjauan-kesehatan/, diakses pada tanggal 1 Maret 2015, pukul 10.15 WIB
[1] Ahmad Falah, Materi
dan Pembelajaran Fiqih MTs-MA, STAIN Kudus, Kudus:2009, hlm.,49
[2] Ibid, hlm.,
51
[3] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung:2013, cet. 62,
hlm.,13-16
[4]Ahmad Falah, Op.Cit,
hlm.,54
[5] Ibid, hlm.,
62
[6] Sulaiman
Rasjid, Op.Cit, hlm.,30-33
[7] Ahmad Falah, Op.Cit,
hlm.,62
[8] Ibid, hlm.,63
[10] Ibid, hlm.,55
[11]
Sulaiman
Rasjid, Op.Cit, hlm.,21-22
[12]https://perawattegal.wordpress.com/2010/12/08/rahasia-thaharah-wudlu-shalat-dan-dzikir-dalam-tinjauan-kesehatan/,
diakses pada tanggal 1 Maret 2015, pukul 10.15 WIB
[13]http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/06/17/n7b3ti-thaharah-perspektif-ahli-neurologi-dan-psikologi-1,
diakses pada tanggal 1 Maret 2015, pukul 10.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar