BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah berfikir secara mendalam tentang
hakikat segala sesuatu yang ada maupun yang mungkin ada tanpa ada paksaan dari
pihak manapun dan apapun. Adapun seseorang yang mendalami atau akhli dalam
filsafat suka disebut filosof, di dalam filsafat Islam disebut akhli hikmah
atau mutakalimin. Hasil pemikiran para filsof mengenai
filsafat yang di kumpulkan dalam bentuk tulisan serta disusun secara
sistematis, disebut sisitematika filsafat. Sistematika merupakan suatu penjabaran yang
secara garis besar terdiri dari bagian awal, bagian isi dan bagian akhir. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dengan belajar filsafat semakin
menjadikan orang mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar. Jadi, filsafat membantu
untuk mendalami pertanyaan manusia
tentang makna realitas dan ruang lingkupnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa tema-tema
sentral filsafat?
2. Apa saja metode
mempelajari filsafat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tema sentral filsafat
1.
Aksiologi Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno,
terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti
teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Dengan
demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang
nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.Aksiologi ialah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut
pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang
bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti: epistimologis, etika
dan estetika.
2.
Epistimologi, Pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Tapi empirisme lemah
karena keterbatasan indera manusia. Menurut teori pengetahuan epistemologi pengetahuan manusia ada tige macam,
yaitu pengetahuan Sains, pengetahuan Filsafat, dan pengetahuan Mistik. Pengetahuan
itu diuperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai
alat. Ada beberapa alasan yang beberapa tentang ini :
a)
EmpirismeKata ini berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal
dari kata emperia, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman. Sebagai tokohnya adalah Thomes Hobbess, Jhon
Lock, dan David Hume. Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan
manfaatnya, panndangan orang terhadap filsafat merosot. Hal ini terjadi karena
filsafat tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan
besar sekali manfaatnya bagi kehidupan.
b)
Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang
disebut bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hokum, dan ilmu
kedokteran. Ia menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa
bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri
sendiri menurut satau metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang
benar adalah apa yang jelas dan terpilih-pilih (clear and distinctively).
Ilmu pengetahuan harus mengikuti langka ilmu pasti karena ilmu pasti dapat
dijadikan model cara pengenal secara dinamis.[1]
c)
Positivisme Filsafat positivism lahir pada abad ke-19. Titik tolak
pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang factual dan yang positif,
sehingga metafisika ditolaknya. Maksud fositif adalah segala kejala dan segala
yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Tokoh
alitan ini adalah August Comple (1798-1857) menurut pendapatnya, perkembangan
pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap teologi
2. Tahap metalisis
3. Tahap ilmiah atau positif.
d). Intuisionisme Menurut Henri bergson
(1859-1941), ia menganggap tidak hanya indera terbatas, akal juga terbatas.
Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya
pada objek itu. Akal hanya mampu memahami bagian-bagian dari objek, kemudian
bagian-bagian itu digabunngkan oleh akal. Dengan menyadari keterbatasan indera
dan akal seperti diterangkan di atas, bergson mengembangkan satu kemampuan
tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adslah hasil
evolusi pengembangan yang tingggi.
Landasan epistemologi ilmu,
tercermin secara operasional dalam metode menyusun pengetahuannya berdasarkan:
a.
Kerangka pemimpinan yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat
konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
b.
Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran
tersebuut.
c.
Melakukan verifikasi terhadap hipotesis termasuk untuk menguji kebenaran
pernyataan secara factual.
3.
Ontologi, Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu
tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas
tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Ontologi adalah hakikat yang ada yang
merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran. Tradisional terdaftar
sebagai bagian dari cabang utama filsafat yang dikenal sebagai metafisika,
ontologi berkaitan dengan pertanyaan mengenai apa yang ada entitas atau dapat
dikatakan ada, dan bagaimana badan tersebut dapat dikelompokkan, terkait di
dalam hirarki, dan dibagi menurut persamaan dan perbedaan. Ikhtisar Ontologi, dalam filsafat analitik,
menyangkut menentukan apakah beberapa kategori yang sangat penting dan bertanya
dalam apa arti item dalam kategori tersebut dapat dikatakan
"menjadi". Ini adalah penyelidikan berada di begitu banyak seperti
sedang, atau menjadi makhluk sejauh mereka ada-dan tidak sejauh, misalnya,
fakta-fakta tertentu yang diperoleh tentang mereka atau properti tertentu yang
berhubungan dengan mereka.[2]
Untuk Aristoteles ada empat
dimensi ontologis yang berbeda:
1. menurut berbagai kategori atau cara menangani
yang sedang seperti itu
2. menurut kebenaran atau kesalahan (misalnya
emas palsu, uang palsu)
3. apakah itu ada dalam dan dari dirinya sendiri atau hanya 'datang
bersama' oleh kecelakaan.
4. sesuai dengan potensinya, gerakan (energi) atau jadi kehadiran
(Buku Metafisika Theta).
Beberapa filsuf, terutama dari sekolah Plato, berpendapat bahwa semua kata
benda (termasuk kata benda abstrak) mengacu kepada badan ada. filsuf lain
berpendapat bahwa kata benda tidak selalu entitas nama, tetapi beberapa
memberikan semacam singkatan untuk referensi untuk koleksi baik benda atau
peristiwa. Dalam pandangan yang terakhir, pikiran, bukannya merujuk pada suatu
entitas, mengacu pada koleksi peristiwa mental yang dialami oleh seseorang;
masyarakat yang mengacu pada kumpulan orang-orang dengan beberapa karakteristik
bersama, dan geometri mengacu pada koleksi dari jenis yang spesifik intelektual.
Aktivitas Di antara kutub realisme dan nominalisme, ada juga berbagai posisi
lain, tetapi ontologi apapun harus memberi penjelasan tentang kata-kata yang
mengacu kepada badan usaha, yang tidak, mengapa, dan apa kategori hasil. Ketika
seseorang berlaku proses ini untuk kata benda seperti elektron, energi,
kontrak, kebahagiaan, ruang, waktu, kebenaran, kausalitas, dan Tuhan, ontologi
menjadi dasar untuk banyak cabang filsafat
B. Metode Mempelajari Filsafat
1. Metode kritis yaitu, digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensil. Pelajar haruslah sedikit banyak telah memiliki pengetahuan. Socrates
(470-399 SM) menganalisis objek-objek filsafatnya secara kritis dan dialektis.
Berusaha menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek analisanya dengan
pemeriksaan yang amat teliti dan terus-menerus. Ia menempatkan dirinya sebagai
intelektual mid wife, yaitu orang yang memberi dorongan agar seseorang bisa
melahirkan pengetahuannya yang tertimbun oleh pengetahuan semunya. Asumsi
dasarnya adalah bahwa setiap orang tahu akan hakekat. Jadi Socrates menolong
orang untuk melahirkan pengetahuan hakekat tersebut dengan jalan mengajak
dialog yang dilakukan secara cermat. Dialog ini dilakukan dengan menarik, penuh
humor, segar dan sederhana. Socrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
tajam dan terarah. Lawan dialog giring kearah persoalan, makin lama makin
mendalam kearah intinya. Lewat proses
inilaah orang didorong untuk melahirkan pengetahuan yang dimiliki. Diteliti
konsistensinya, dijernihkan keyakinan-keyakinannya, dibuka kesadarannya
sehingga orang memahami keadaan dirinya. Entah dia memiliki pengetahuan yang
sebenarnya atau dia kurang tahu. Socrates
dalam hal ini bertindak sebagai bidan penolong sebuah proses kelahiran. Ia
sebagai lawan dialog yang kritis dan menyenangkan, mengantar orang untuk
menemukan kebenaran-kebenaran yang ada. Kemudian secara sitematis menyusun
dalam suatu batasan pengertian yang mengandung nilai filosofis. Plato meneruskan usaha gurunya, mengembangkan lebih lanjut metode Socrates.
Dalam dialog Plato, orang dituntun untuk memahami hakekat objek dengan jalan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis dan mencari rumusan jawaban yang
benar. Metode Socrates dan Plato ini
disebut metode kritis, sebab proses yang terjadi dalam implikasinya adalah
menjernihkan keyakinan-keyakinan orang. Meneliti apakan memiliki kosistensi
intern atau tidak. Prinsip utama dalam metode kritis adalah perkembangan
pemikiran dengan cara mempertemukan ide-ide, interplay antar ide. Sasarannya adalah
yang umum atau batiniah. Akhir dari dialog kritis tersebut adalah perumusan
definisi yang sudah merupakan suatu generalisasi.
2. metode historis yaitu, suatu metode pengkajian filsafat yang didasarkan pada
prinsip-prinsip metode melalui empat tahapan. Maksudnya pengertian ini adalah
sebuah metode yang tidak luput akan prinsip dan pegangan dalam penggunaan
berfilsafat. Sehingga dalam menjalankan metode itu pun memiliki beberapa
tahapan. Di mana jika kita lihat arti historis itu sendiri bahwa historis itu
sendiri adalah sejarah waktu tentang pemikiran masa lalu, masa kini dan masa
yang akan datang. Jadi jika tersangkut paut akan historis maka metode ini membahas
akan kebahasaan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang yang memiliki
berbagai tahapan.
Historis itu sendiri
digunakan untuk memperkaya pengetahuan peneliti tentang bagaimana dan mengapa
suatu kejadian masa lalu dapat terjadi serta proses bagaimana masa lalu itu
menjadi masa kini, masa kini menjadi masa yang akan datang yang pada akhirnya
dapat diharapkan meningkatnya pemahaman tentang kejadian masa kini serta
memperoleh dasar yang lebih rasional untuk melakukan pilihan-pilihan di masa
kini dan menuju masa depan yang lebih baik. Historis itu pun terdapat hubungan
yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa, waktu, dan tempat secara
kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong objek-objek yang
diobservasi. Antara manusia, peristiwa, waktu bahkan tempat memiliki ikatan
yang saling berkesinambungan. Di mana suatu kejadian sejarah ada karena
manusia, peristiwa, waktu dan tempat.[3]
3. Metode Sistematis adalah cara mempelajari filsafat mengenai materi atau
masalah-masalah yang dibicakannya. Sistimatis di sini artinya adanya susunan
dan urutan (hierarki), juga kaitan suatu masalah dengan materi atau masalah
lain yang terdapat dalam filsafat. Lantas, apa yang dimaksud dengan materi atau
permasalahan dalam filsafat dan bagaimana susunan dan hubungan satu masalah
dengan masalah lain terjadi? Tiga masalah pokok dalam dalam filsafat yang
melahirkan jenis-jenis filsafat, disebut juga dengan problematika filsafat.
Ketiga masalah tersebut antara lain. Pertama, masalah mengenal dan
mengetahui (cognitio) atau teori pengetahuan. kedua, masalah
segala sesuatu (metafisika), yaitu metafisika umum (ontologi), dan metafisika
khusus atau belajar tentang teori hakekat. Ketiga, masalah penilaian,
nilai, dan aksiologi. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika
filsafat. Tatkala membahas setiap cabang atau subcabang itu, aliran-aliran akan
terbahas. Dengan belajar filsafat melalui metode ini perhatian kita terpusat
pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun periode.
Sebenarnya, sistematika filsafat ini sudah ada sejak masa Yunani Kuno
yang terkenal adalah sistematika Aristoteles. Sistimatika ini dianggap sebagai sistematika
pertama dalam filsafat, meskipun sebelumnya, guru Aristoteles, Plato telah
mengemukakan tiga cabang filsafat, yaitu dialektika yang mempersoalkan gagasan
atau pengertian umum, fisika yang mempersoalkan dunia materi, dan etika yang
mempersoalkan baik serta buruk. Menurut Aristetoles, pembagian atau klasifikasi
filsafat adalah logika yang dianggap sebagai pendahulu filsafat. Adapun
klasifikasi filsafatnya, yaitu filsafat teoritis membicarakan fisika,
matematika, dan metafisika; filsafat fisika praktis membicarakan etika,
ekonomi, dan politik; serta filsafat poetika(kesenian).[4]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara garis besar filsafat mempunyai tiga cabang besar yaitu :
teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut epistemology.
teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontology.
teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu.
Korelasi epistimologi dalam ilmu pendidikan diposisikan sebagai teori pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Sedangkan Esensi dari potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu teletak pada keimanan atau keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak (moral) dan pengalamannya, inilah yang dijadikan sebagai titik pusat. Kemudian salah satu fungsi atau kegunaan filsafat pendidikan adalah sebagai sumber ilmu atau induk pengetahuan.
teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut epistemology.
teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontology.
teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu.
Korelasi epistimologi dalam ilmu pendidikan diposisikan sebagai teori pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Sedangkan Esensi dari potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu teletak pada keimanan atau keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak (moral) dan pengalamannya, inilah yang dijadikan sebagai titik pusat. Kemudian salah satu fungsi atau kegunaan filsafat pendidikan adalah sebagai sumber ilmu atau induk pengetahuan.
B. PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
[3] Imam Barnadib, filsafat
pendidikan pengantar mengenai system dan metode, Yogyakarta:Andi offset,
1990.hlm 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar