Selasa, 24 Desember 2013

PENGERTIAN DAN FUNGSI FENOMENOLOGI DALAM KAJIAN AGAMA DAN STUDI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah 
     Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam  kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan social dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati” yang tersembunyi dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua fenomena keberagamaan (religious phenomenon) manusia.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi.
Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. 
Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu, kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).
B.     Rumusan Masalah 
      1.      Pengertian Fenomenologi 
      2.      Posisi Fenomenologi dalam Kajian Agama dan studi Islam 
      3.      Fungsi fenomenologi

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fenomenologi
      Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomen dari phainesthai /phainomai/phainein yang berarti menampakkan atau memperlihatkan.[1] Dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam istilah gejala yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Atau secara harfiah fenomena dapat di artikan sebagai suatu gejalah atau sesuatu yang menampakkan. Fenomenologi juga di artikan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari 2 sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena di pandang dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” atau ratio, sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman yang berbeda.
Kant dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi sebagai pelajaran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala.[2] Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak ada hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.[3]
Fenomenologi memberi tekanan pada keperluan melukiskan gejala-gejala tanpa prasangka. Istilah fenomenologi dipakai untuk pertama kali oleh J.H. Lambert (1728-1777), yang menyebut fenomenologi sebagai sebuah penyelidikan kritis mengenai hubungan antara sesuatu yang lepas dari pertimbangan dan sesuatu sebagai akibat pengalaman kita.
Dari beberapa pengertian di atas, jelas bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena keagamaan secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.
B. Posisi Fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam
Fenomenologi Husserl dijadikan sebagai landasan dalam fenomenologi agama. Fenomenologi agama menjadikan agama sebagai objek studi menurut apa adanya. Atau dengan kata lain, ia menjelaskan fenomena keagamaan sebagai yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini kaum fenomenolog agama mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu menurut visi mereka sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama muncul sebagai reaksi terhadap beberapa pendekatan sebelumnya, yaitu:
1. Pendekatan teologi yang normatif (atau sebut saja: teologis-normatif). Dalam mengkaji tradisi agama, pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan dan menyumbangkan pemahaman yang lebih baik mengenai dunia agama. Sehingga menjadikan agama tertentu (terutama agamanya sendiri) sebagai agama yang benar, sementara agama lain salah.
2. Pendekatan reduksionis. Pendekatan ini melihat agama lebih sebagai fakta-fakta intelektual, emosional, psikologis dan sosiologis. Di sini agama diselidiki melalui beberapa disiplin di luar ilmu agama (teologi). Ilmu-ilmu ini dalam melihat agama (termasuk persoalan ketuhanan) menghasilkan beberapa kesimpulan, misalnya ia sebagai pemerasan  ekonomis (Marx), frustasi jiwa manusia (Feuerbach), suatu fase manusia dalam keadaan keterbelakangan (Comte), dan lain-lain. Ketika mencari asal-usul agama, ahli sosiologi agama memulai kerjanya dalam masyarakat yang paling “primitif”. Melalui penelitian terhadap masyarakat yang paling “awal/primitif” itu diharapkan diperoleh pemahaman mengenai proses perkembangan agama sepanjang sejarah.
            Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.[4]
C. Fungsi Fenomenologi
Berikut ini fungsi dari fenomenologi :
a. Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi, seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap keagamaan khususnya agama Islam .
b. Sebagai konstruksi taksonomis untuk mengklasifikasikan fenomena dengan melintasi batas-batas komunitas agama, budaya, dan zaman. Pokok dari aktivitas ini adalah mencari struktur pengalaman keagamaan dan keluasan prinsip-prinsip yang tampak mengoperasikan bentuk perwujudan keberagamaan manusia secara keseluruhan.
c. Fenomenologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data  yang besar untuk suatu koleksi umum diluar substansi sesungguhnya, dan tanpa berkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme.
d.  Sebagai wadah untuk berfikir kritis dalam menanggapi fenomena keberagamaan.
 e. Berfungsi untuk mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
f. berfungsi untuk memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Fenomenologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala yang nampak. Jelas bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena keagamaan secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.
Posisi fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
            Fungsi dari fenomenologi adalah Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi, seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap keagamaan khususnya agama Islam.
B. Penutup
            Demikian makalah yang kami buat. Apabila terdapat kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk lebih baiknya makalah yamg kami buat selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.






[1] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta : Rineka Cipta, 1990 ). Cet. 1. 37
[2] Syamsudin Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama, (Jakarta: Depag RI, 1984), hlm. 1
[3] M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 6
[4] http://en. wikipidia.org/phenomenology of religion, dikutip 6 Januari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puncak Natas Angin; Puncak dengan Jalur yang istimewa

Setelah beberapa lama merindukan angin malam diatas ketinggian, kali ini aku punya kesempatan untuk menakhlukan Puncak Natas angin bersama ...