BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Mengkaji
fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan
social dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan peralatannya,
dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan
ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga
“makna terdalam dan substansi sejati” yang tersembunyi dibalik gejala tersebut.
Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua fenomena keberagamaan (religious
phenomenon) manusia.
Fenomenologi
adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu
Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi.
Secara
harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap
bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang
fenomenalisme suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang
mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan
teori.
Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu, kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).
Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu, kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian Fenomenologi 2. Posisi Fenomenologi dalam Kajian Agama dan studi Islam
3. Fungsi fenomenologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa
Yunani phainomen dari phainesthai /phainomai/phainein yang berarti menampakkan
atau memperlihatkan.[1]
Dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom dan fosfor yang artinya sinar atau
cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat karena bercahaya.
Dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam istilah gejala yaitu suatu hal yang
tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai
ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Atau secara harfiah fenomena
dapat di artikan sebagai suatu gejalah atau sesuatu yang menampakkan.
Fenomenologi juga di artikan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak
(phainomenon).
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari 2 sudut. Pertama, fenomena
selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran.
Kedua, fenomena di pandang dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada
dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu
melihat “penyaringan” atau ratio, sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk
memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman yang
berbeda.
Kant
dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi
sebagai pelajaran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala.[2]
Sedangkan fenomenologi secara
terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba
mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak ada hal
tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat,
dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada
dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.[3]
Fenomenologi
memberi tekanan pada keperluan melukiskan gejala-gejala tanpa prasangka.
Istilah fenomenologi dipakai untuk pertama kali oleh J.H. Lambert (1728-1777),
yang menyebut fenomenologi sebagai sebuah penyelidikan kritis mengenai hubungan
antara sesuatu yang lepas dari pertimbangan dan sesuatu sebagai akibat
pengalaman kita.
Dari beberapa pengertian di atas,
jelas bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji
fenomena keagamaan secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.
B. Posisi
Fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam
Fenomenologi Husserl dijadikan
sebagai landasan dalam fenomenologi agama. Fenomenologi agama menjadikan agama
sebagai objek studi menurut apa adanya. Atau dengan kata lain, ia menjelaskan
fenomena keagamaan sebagai yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal
ini kaum fenomenolog agama mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu
menurut visi mereka sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah
mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi
agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik
pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan
budaya manusia.
Pendekatan fenomenologi dalam studi
agama muncul sebagai reaksi terhadap beberapa pendekatan sebelumnya, yaitu:
1. Pendekatan teologi yang normatif
(atau sebut saja: teologis-normatif). Dalam mengkaji tradisi agama, pendekatan
ini digunakan untuk menghasilkan dan menyumbangkan pemahaman yang lebih baik
mengenai dunia agama. Sehingga menjadikan agama tertentu (terutama agamanya
sendiri) sebagai agama yang benar, sementara agama lain salah.
2. Pendekatan reduksionis.
Pendekatan ini melihat agama lebih sebagai fakta-fakta intelektual, emosional,
psikologis dan sosiologis. Di sini agama diselidiki melalui beberapa disiplin
di luar ilmu agama (teologi). Ilmu-ilmu ini dalam melihat agama (termasuk
persoalan ketuhanan) menghasilkan beberapa kesimpulan, misalnya ia sebagai
pemerasan ekonomis (Marx), frustasi jiwa manusia (Feuerbach), suatu fase
manusia dalam keadaan keterbelakangan (Comte), dan lain-lain. Ketika mencari
asal-usul agama, ahli sosiologi agama memulai kerjanya dalam masyarakat yang
paling “primitif”. Melalui penelitian terhadap masyarakat yang paling
“awal/primitif” itu diharapkan diperoleh pemahaman mengenai proses perkembangan
agama sepanjang sejarah.
Fokus utama fenomenologi agama adalah
aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena
keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang
diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji
secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan
pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari
pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya
mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.[4]
C.
Fungsi Fenomenologi
Berikut ini fungsi dari fenomenologi
:
a. Sebagai pembelajaran dalam
keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi, seseorang di mungkinkan dapat
memahami hakikat keberagamaan secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi itu
mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap keagamaan khususnya
agama Islam .
b. Sebagai konstruksi taksonomis
untuk mengklasifikasikan fenomena dengan melintasi batas-batas komunitas agama,
budaya, dan zaman. Pokok dari aktivitas ini adalah mencari struktur pengalaman
keagamaan dan keluasan prinsip-prinsip yang tampak mengoperasikan bentuk
perwujudan keberagamaan manusia secara keseluruhan.
c. Fenomenologi berfungsi sebagai
ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu
tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan
lewat koleksi data yang besar untuk
suatu koleksi umum diluar substansi sesungguhnya, dan tanpa berkontaminasi kecenderungan
psikologisme dan naturalisme.
d.
Sebagai wadah untuk berfikir kritis dalam menanggapi fenomena
keberagamaan.
e. Berfungsi untuk mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada
dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol
keagamaan.
f. berfungsi untuk memahami pemikiran,
tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori
filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena
pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya
masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata
agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Fenomenologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala yang nampak. Jelas
bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena
keagamaan secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.
Posisi fenomenologi dalam kajian
Agama dan Studi Islam adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur
agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau
memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami
peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Fungsi dari fenomenologi adalah
Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi,
seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan secara mendalam. Di
karenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi
terhadap keagamaan khususnya agama Islam.
B. Penutup
Demikian makalah yang kami buat.
Apabila terdapat kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja kami mohon
maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk lebih baiknya
makalah yamg kami buat selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar