BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perbedaan pendapat dalam memahami
ajaran Islam adalah suatu keniscayaan. Karakter agama Islam yang universal
harus bisa mengikuti perkembangan zaman. Perbedaan
pendapat adalah sunnatullah yang telah dimulai di kalangan para sahabat
semenjak Rasulullah SAW masih hidup. Perbedaan ini pada tataran akademis adalah
hal yang wajar dan diperbolehkan, namun jika menimbulkan fanatisme yang pada
akhirnya memicu perpecahan, bahkan permusuhan, maka hal inilah yang dilarang
dalam Islam.
Melihat situasi saat ini banyak
sekali perdebatan-perdebatan sesama muslim hanya gara-gara beda aliran
(MAZHAB), sehingga banyak terjadi permusuhan diantara kaum muslim sendiri. Yang
seharusnya tidak boleh terjadi. Maka
daripada itu kita semua harus bijak menyikapinya.
Perbedaan
pendapat antar ulama yang kemudian muncul madzhab-madzhab fiqh dalam Islam
adalah khazanah dan simbul kekayaan syariat yang besar yang merupakan
kebanggaan dan izzah bagi umat Islam. Ini merupakan rahmat dan kemudahan bagi
umat Islam sampai akhir zaman. Dalam pembahasan kali ini penulis akan sedikit
menjelaskan tentang perbandingan madzhab dan cara mensikapinya.
B.
Rumusan Masalah
Dari
makalah yang kami buat ini, yang dapat kami paparkan adalah sebagai berikut:
1.
Apa Pengertian
dari Perbandingan Madzhab?
2.
Bagaimana Aliran Mushawwibah dan
Mukhaththiah?
3.
Apa Penyebab
Munculnya Perbedaan?
4.
Apa Saja
tujuan dan Manfaat Mempelajari Perbandingan Madzhab?
5.
Bagaimana Contoh yang Menjadi Bahasan Pandangan Madzhab
Lain dan Cara Menyikapinya?
6.
Bagaimana Sikap
Orang Muslim Terhadap Perbedaan Pendapat Ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perbandingan Madzhab
Perbandingan madzhab adalah
memperbandingan satu madzhab dengan madzhab lainnya. Hal ini berarti, bahwa
diantara madzhab-madzhab tersebut terdapat perbedaan. Sebab tidak akan
dipergunakan kata perbandingan, kecuali terhadap barang-barang atau hal-hal
yang satu sama lain berbeda. Perbedaan sesuatu dengan lainnya terutama dalam
hal pendapat dan paham, tidak selamanya menunjukkan adanya pertentangan serta
mengakibatkan timbulnya pertikaian dan permusuhan. Sebab tidak sedikit
perbedaan yang disebabkan perbedaan zaman dan keadaan, menyebabkan berbedanya
tindak dan pendapat atau berbedanya tanggapan. [1]
Perbandingan madzhab dalam bahasa
Arab disebut Muqaranah al-Mazahib. Kata
Muqaranah menurut bahasa, berasal
dari kata kerja qarana-
yuqarinu-muqaranatan yang berarti mengumpulkan, membandingkan dan
menghimpun. Pengertian ini diambil dari perkataan orang Arab yang berarti
menggabungkan sesuatu.[2]
Berdasarkan makna lughawi di atas,
maka perbandingan madzhab menurut istilah ulama fiqh Islam adalah sebagai
berikut:
Artinya : Perbandingan
madzhab adalah mengumpulkan pendapat para Imam Mujtahidin dengan dalil-dalilnya
tentang suatu masalah yang diperselisihkan padanya, kemudian membandingkan
dalil-dalil itu satu sama lainnya, agar nampak setelah dimunaqasyahkan pendapat
mana yang terkuat dalilnya.
Jadi, perbandingan madzhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas
pendapat-pendapat fuqaha’ (mujtahidin) beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai
masalah, baik yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan memandingkan
dalil masing-masing yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang
dikemukakan oleh mujtahidin untuk menentukan pendapat yang paling kuat
dalilnya.
B.
Aliran
Mushawwibah dan Mukhaththiah
Hakim apabila
berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua
pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia
mendapat satu pahala”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Di dalam Islam, semua teks (al-Qur’an dan al-Hadits)
yang berbentuk zhanni (dugaan) maka makna yang muncul dari teks itu selalu
dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf fih). Bagi pengikut
teori mushawwibah akan mengatakan bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu,
yang benar tidak satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua
mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushul-fiqh.
Sedangkan pengikut mukhath-thiah akan berpendapat bahwa semua kesimpulan yang
banyak itu, yang benar cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi
ada nilai kontradiktif.
Penilaian semacam itu muncul karena ushul-fiqh atau
kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjective dan paradigma kualitative.
Penalaran semacam ini kurang memiliki
kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-ada dan
spekulasi yang merancang. Tentu saja asumsi seperti itu tidak selalu benar.
Meskipun begitu, pengembangan ushul-fiqh seyogyanya berusaha keras untuk
meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika dan
kebenaran.
Logika dan kebenaran dalam ushul-fiqh tidak berbeda
dengan metode penelitian ilmu social atau ilmu budaya. Logika tetap menjadi
wahana untuk mencari kebenaran. Meskipun begitu, banyak sekali macam-macam
logika yang dipergunakan untuk mencapai kebenaran itu. Tetapi tidak semuanya
relevan bagi pengembangan ushul-fiqh. Macam-macam logika itu antara lain :
1.
Logika formal. Logika ini berusaha
mencari kebenaran dengan mencari relasi antar muqaddimah shugra dan kubra
dengan tujuan untuk menggeneralisasikan natijah yang ada pada setiap syakal
(qiyas manthiqi). Logika ini tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh. karena
ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti itu, tetapi
transferabilitas.
2.
Logika matematik. Logika ini pencarian
kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil seperti
tiga kali tiga itu sembilan. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya
dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh
statistika dan bisa berlaku bagi penelitian ilmu social, ilmu budaya, termasuk
ilmu agama yang penganut faham posistivistik.
3.
Logika reflektif, yaitu cara berfikir
dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan
dan penjabaran. Logika ini berlangsung cepat dan bisa memanfaatkan daya
intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, logika ini disebut pendekatan dzauqi yang bisa
berkembang sampai laduni.
4.
Logika kualitatif, yakni pencarian
kebenaran berdasarkan paparan deskriptif data di lapangan atau di perpustakaan.
Kualitas kebenarannya didasarkan pada realitas yang ada.
5.
Logika linguistik, yaitu pencarian
kebenaran berdasarkan pemakaian bahasa. Logika ini banyak diminati oleh
penelitian al-Qur’an dan semacam penelitian yang memerlukan penafsiran.
Dari macam-macam logika di atas, ushul-fiqh cenderung
memanfaatkan logika kualitatif dan logika linguistik. Suatu saat logika
reflektif pun dipakai pula, terutama untuk mengembangkan dalil metodologis
seperti istihsan dan mashalih mursalah. Logika kualitatif banyak dipergunakan
untuk mengembangkan dalil sosiologis seperti ijma’, qaul shahabi, dan
lain-lain. Sedangkan logika linguistik dipergunakan untuk mengembangkan dalil
normative, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits.
Kebenaran dalam ushul-fiqh adalah nisbi (zhanni) dan
relative (mukhtalaf fih), dan menganut hukum probabilitas (ijtihadiah). Titik
tolak ushuliyun semacam itu adalah kebenaran kreatif cerdas, dan tidak menyalahkan orang lain
seperti meng-hakimi salah, bid’ah, jumud, dan sebagainya. Tentu saja pendirian
ushuliyun seperti itu tidak disetujui oleh agamawan yang taat pada kebenaran
matematis. Di antara mereka ada yang berkata : Allah itu satu. Nabi Muhammad
itu satu, dan Al-Qur’an juga satu, maka seharusnya pemikiran Islam pun satu
pula (bersatu). Padahal sulit dipungkiri bahwa kebenaran kreatif pun akan mampu
mewadahi aspirasi kebenaran yang kecil-kecil, yaitu kebenaran yang jarang
teradopsi oleh ilmuan yang selalu berfikir global.
Perlu dipertimbangkan, baik oleh pengikut
mushawwibah atau mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin)
adalah unik, dan inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena
itu tuntutan kebenaran dan atau objektivitas ushul fiqh hendaknya dicari bukan
seperti fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-hal yang secara fisik
teramati, terulang, dan teratur, maka perilaku manusia tidak selamanya bergerak
seperti itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya mampu diolah menjadi
objective apabila dilukiskan secara verstehen (mudah terfahami). Jika fiqh yang
diproduksi melalui ushul-fiqh tadi dapat diterima oleh masyarakat, berarti
dalam ushul fiqh tadi ada kejelasan. Kejelasan inilah yang disebut kebenaran.
C. Sebab-sebab Munculnya Perbedaan
Secara pasti, kenyataan ini akan menyebabkan adanya
perbedaan hukum-hukum dalam dalam masalah furuu’iyyah
dikarenakan perbedaan dalam pemahaman dan hasil-hasil ijtihad yang
dilakukan. Mustahil pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang ada bersatu
serta sepakat dalam menyikapi hal-hal yang bersifat furuu’iyyah. Hal ini dikarenakan adanya beberapa sebab. Hasan al
Banna dalam risalahnya yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi, menyebutkan
sebab-sebab yang paling esensial dan sebagai inti dari sebab-sebab tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Perbedaan kekuatan akal dalam melakukan istinbath ‘dedukasi hukum’, dalam
memahami dalil-dalil, menyelami kandungan-kandungan makna, dan dalam
menghubungkan antara hakikat yang satu dengan hakikat yang lain. Agama
merupakan gabungan dari ayat-ayat, hadits-hadits, dan nash-nash yang
ditafsirkan oleh akal pikiran melalui batasan-batasan bahasa dan
kaidah-kaidahnya. Dalam hal ini, setiap orang pasti saling berbeda. Karena itu,
perbedaan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
2.
Adanya kenyataan perbedaan banyak dan
sedikitnya ilmu seseorang. Dalam artian, ada ilmu yang telah sampai kepada
seseorang, namun tidak sampai kepada orang lain, orang ini keilmuannya begini
dan yang lain begitu. Karena itu, Imam Malik pernah berkata kepada Abu Ja’far
al-Manshur ketika ia ingin memaksa semua orang untuk menggunakan kitab al-Muwaththa’, “Adalah para sahabat
Rasulullah tersebar di berbagai penjuru negeri, dan pada setiap kaum mempunyai
corak keilmuan sendiri. Jika kau membawa semua orang kepada satu pendapat, maka
hal itu akan menimbulkan fitnah.”
3.
Perbedaan kondisi dan lingkungan.
Karenannya, kita melihat fikih penduduk Irak berbeda dengan fikih penduduk
orang-orang Hijaz.
4.
Perbedaan kemantapan hati terhadap suatu
riwayat ketika menerimanya. Kita menemukan seorang perawi menurut seorang imam
adalah tsiqah ‘terpercaya’.
Karenanya, imam tersebut jiwanya merasa tenang, dan diriya merasa baik. Maka,
ia merasa baik mengambil riwayat darinya. Dan, menurut imam yang lain perawi
itu cacat, setelah diketahui dari keadaannya (yang membuat cacat).
5.
Perbedaan dalam menentukan kualitas
indikasi dalil. Misalnya, imam ini berpendapat bahwa praktek yang dilakukan
orang-orang didahulukan atas hadits ahad, namun imam yang lain tidak setuju
dengan hal tersebut. Atau, imam ini mengambil dan mengamalkan hadits mursal, tapi imam yang lain tidak.
D.
Tujuan dan Manfaat Mempelajari Perbandingan Madzhab
Adapun tujuan dan manfaat mempeajari
perbandingan madzhab antara lain sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pendapat-pendapat para Imam madzhab (para Imam Mujthid) dalam
berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau
alasan-alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara-cara istinbath
hukum dari dalilnya oleh mereka. Dengan mempelajari dalil-dalil yang digunakan
oleh para Imam Madzhab tersebut dalam menetapkan hukum, orang yang yang
melakukan studi perbandingan madzhab akan mendapat keuntungan ilmu pengetahuan
secara sadar dan meyakinkan akan ajaran agamanya dan akan memperoleh hujjahang
jelas dalam melaksanakan ajaran agamanya, sehingga ia tergolong ke dalam
kelompok orang yang disebut dalam al-Quran sebgai berikut:[3]
Artinya :Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu)kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah
dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik. (Q.S. Yusuf: 108)
Dengan demikian akan terlepas dari
kelompok orang yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah
dan mengikuti Rasul”, mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami
dapati Bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga
nenek moyang mereka walaupun nenek moyng mereka itu tidak mengetahui apa-apa
dan (pula) tidak mendapatkan petunjuk? (Q.S. al-Maidah: 104)
2.
Untuk
mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan setiap Imam Madzhab
(Imam Mujtahid) dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya, dimana setiap
Imam Mujtahid tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil
al-Qur’an atau Sunnah. Sebagai buah dari cara ini, orang yang melakukan studi
tersebut, akan menjadi orang yang benar-benar menghormati semua Imam Madzhab
tanpa membedakan satu dengan lainnya, karena pandangan dan dalil yang
dikemukakan masing-masing pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan
ijtihad. Maka sepantasnyalah orang yang mengikuti (bertaklid) kepada salah satu
Imam Madzhab itu mengikuti pula jejak dan petunjuk imamnya dalam menghormati
imam lain.
3.
Dengan
memperhatikan landasan berpikir para Imam Madzhab, orang yang melakukan studi
perbandingan madzhab dapat mengetahui, bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya
tidak keluar dari Nushush al-Qur’an dan Sunnah dengan perbedaan interprestasi,
atau mereka mengambil Qiyas, Mashalah Mursalah, Istishab, atau prinsip-prinsip
umum dalam nash-nash Syari’at Islam dalam menyelesaikan semua persoalan yang
hidup dalam masyarakat, baik ibadah, maupun mu’amalah, yang dalil-dalil ijtihad
itupun digali dari nash-nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dengan demikian
orang-orang yang melakukan studi perbandingan madzhab itu akan memahami, bahwa
perbuatan dan amalan sehari-hari dari pengikut madzhab yang lain itu, bukan
diatur oleh hukum diluar islam, karena itu mereka tidak mengkafirkannya.
Dengan pengertian di atas, akan
timbul rasa saling menghormati dengan yang berbeda pendapat. Ini
mengisyaratkan, bahwa Islam menghargai kebebasan menyatakan pendapat. Perbedaan
pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan dan perpecahan,
tetapi hendaknya perbedaan pendapat itu dimanfaatkan untuk menemukan suatu
kemudahan karena adanya alternatif bagi umat manusia dalam menyelesaikan
berbagai persoalan hidup yang beraneka ragam dan terus berkembang. Pada zaman
era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi dewasa ini,
banyak masalah-masalah baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang
menghendaki penentuan hukumnya. Sudah tentu tidak semua masalah actual itu bisa
dipecahkan kalau hanya berpegang kepada satu system dan satu macam cara
istinbath hukum yang akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Menurut agama,
kesulitan dan kesempitan itu secara principal harus dihilangkan, sebagaimana
ditegaskan dalam nash al-Qur’an. Allah berfirman: [4]
Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S Al-Baqarah: 185)
Dalam
Hadist Rasulullah menyatakan:
Permudahlah
dan jangan kamu persulit. Dan apabila marah salah seorang di antara kamu, maka
hendaklah dia diam. (H.R al-Bukhari
dan Muslim dari Abi Hurairah).
Dalam Hadits
yang lain Rasulullah bersabda:
Perbedaan
pendapat dari umatku (ulama) adalah rahmat. (H.R.
Al-Baihaqy dari Ibnu Umar).
Hadits di atas mengisyaratkan kepada
kita untuk mengikuti madzhab mana saja yang dianggap lebih kuat dalil
argumentasinya. Untuk itu kita perlu mengetahui cara muqaranah atau menguasai
Ilmu Perbandingan Madzhab.
E.
Contoh yang
Menjadi Bahasan Pandangan Madzhab Lain
Berikut
ini contoh beberapa pandangan menurut madzhab empat tentang wali dalam pernikahan, diantaranya :
1. Menyikapi Pandangan Hanafiyah tentang Wali
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Hanafiyah menyadarkan pada
rasionalitas dalam membuat keputusan hukum. Hal ini terlihat ketika mereka
berpandangan bahwa status wali hanyalah syarat perkawinan, bukan rukun
perkawinan. Ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah terdiri atas ijab dan qabul.
Status wali menjadi syarat sahnya perkawinan khusus anak kecil, baik perempuan maupun
laki-laki, orang gila (madznun) perempuan / laki-laki meskipun orang dewasa.
Adapun orang dewasa yang sudah baligh, baik janda maupun gadis tidak berada
dalam kekuasaan wali, cukuplah bagi kedua mempelai tersebut dengan akad nikah
(ijab/qabul) dengan syarat keduanya kafaah. Jika tidak (kafaah), wali memiliki
hak untuk membatalkan atau memfasakhakad tersebut. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa status wali dalam madzhab Hanafiyah, bukan merupakan rukun
sebagai syarat sahnya pernikahan, melainkan sebagai jalan alternatif atau
pelengkap sahnya perkawinan dengan syarat tertentu.
Rasionalitas tentang wali dalam pandangan madzhab Hanafiyah didasarkan
bahwa akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu, syaratnya cukup
dengan ijab dan qabul. Posisi wali hanya diperuntukkan bagi pasangan suami
istri yang masih kecil. Selain itu, secara istidhal, Hanafiyah berpandangan
bahwa Al-Quran ataupun hadis yang dijadikan hujjah terhadap status wali sebagai
rukun nikah, tidak memberikan isyarat bahwa wali tersebut sebagai rukun nikah.
2. Pandangan Malikiyah tentang Wali
Imam Malik, sebagaimana dikutip Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa “Tidak
terjadi pernikahan, kecuali dengan wali. Wali adalah syarat sahnya pernikahan
sebagaimana riwayat hadis Asyhab. Atas pemikiran Malik, para pengikut Imam
Malik atau dikenal dengan Malikiyah, lebih tegas berpendapat, “Wali adalah
rukub dari sebagian rukun nikah, tidak sah akad nikah tanpa adanya wali.”
Dasar keharusan wali dalam nikah
dalam madzhab Maliki dan madzhab yang sepakat terhadap wali sebagai syarat
sahnya pernikahan adalah surat Al-Baqarah ayat 232 dan 221 dan beberapa hadis
Nabi SAW. Sebagaimana dijelaskan di atas. Secara lengkap, Ibnu Rusyd menguraikan
sebagai berikut :
“. . . orang yang menjadikan wali sebagai
syarat sebuah perkawinan sebagai mana Al-Quran yang menyebutkan :
Artinya
:
“Dan
apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan
kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjadi
kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara
kamu kamu yang betiman kepada Allah dan hari akhir. Itulah lebih suci bagimu
dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Kitab ayat ini dengan jelas ditunjukkan kepada para wali dan juga ayat
221 surat Al-Baqarah :
Artinya :
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan
musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman
lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu nikahin orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beriman) sebelummereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak
ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepada manusia
agar mereka mengambil pelajaran.”
3.
PandanganSyafi’iyah
tentang Wali
Sebagaimana yang dikutip dalam bukunya Ded
Supriyad,MadzhabSyafi’iyah dalam hal ini diwakili oleh Imam Taqiuddin menjelaskan
bahwa “ Wali adalah salah satu rukun nikah, tidak sah pernikahan kecuali dengan
wali
Dasar Wali yang digunakan dalam
madzhabSyafi’iyah sebagai berikut :Al Quran surat Al Baqarah ayat 232
yang artinya : “ Maka jangan kamu menghalangi mereka menikah lagi dengan calon
suaminya”.
Ayat diatas diturunkan kepada Mu’qil Ibnu Yasar
ketika menolak untuk menikahkan saudara perempuannya yang ditolak oleh
suaminya. Menurut Imam As Syafii ayat ini jelas sekali menunjukkan status wali
sebagai hal yang wajib dalam pernikahan.
4.
Pandangan Hanbaliyah
tentang wali
Sebagaimana dalam bukunya Ded Supriyad,MadzhabHanbaliyah
dalam memandang Wali, pada dasarnya sama dengan madzhab
Malikiyah dan Syafi’iyah. Ketiga madzhab
tersebut berpendapat bahwa wali itu sangat (dharuri)
dalam pernikahan.Tanpa wali atau orang yang
menggantikan wali, pernikahannya batal (tidak
sah). Seorang wanita tidak boleh menikah sendiri dengan akad pernikahannya
sendiri dalam keadaan apapun, baik kepada
gadis atau laki-laki yang dewasa maupun yang belum dewasa,
kecuali janda yang harus diminta izin dan Ridhonya. Berbeda
dengan Hanafiah yang berpandangan bahwa “Wali
itu penting atau (dharuri) hanya untuk
gadis yang belum dewasa dan orang dewasa (perempuan)
yang gila, sementara orang dewasa, baik gadis maupun
janda,mereka memiliki hak sendiri untuk menikah sendiri dengan orang yang
disukainya.
Adapun pengambilan dalil madzhab Hanafiah
termasuk kelompok ulama jumhur tentang keharusan adanya wali berdasarkan Al-Quran
adalah, yang artinya : “Dan nikahlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga
orang-orang yang layak menikah dari hamba hamba sahaya mu yang laki-laki dan
perempuan”
Landasan normatif hadis tentang wali yang digunakan dalam madzhab
Hambali, meskipun sama dengan madzhabSyafi’iyah
dan Malikiyah tetapi berbeda redaksi hadisnya sebagai berikut, yang artinya : “dari Abu Burdah Ibnu Abi Musa dari bapaknya
berkata Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallah bersabda tidak ada nikah kecuali
dengan wali”.
5.
Persamaan dan
perbedaan empat Madzhab Fiqh
a.
Malikiyah
Syafi’iyah dan Hanbaliyah, sepakat keharusan adanya wali atau pengganti dalam
setiap pernikahan, baik untuk gadis maupun janda, baik dewasa maupun belum
dewasa. Berbeda dengan ketiga madzhab
tersebut, Hanbaliyah berpandangan bahwa
keharusan adanya wali hanya untuk gadis yang belum dewasa dan yang dewasa, tetapi
gila. Adapun bagi yang dewasa berakal sehat,
baik gadis maupun janda, mereka
mempunyai hak untuk menikahkan dirinya sendiri kepada orang yang dikehendaki.
b.
Syafi’iyah dan
Hanbaliyah sepakat bahwa mujbir itu Bapak dan Kakek. Berbeda
dengan Malikiyah, wali mujbir
itu Bapak saja. Malikiyah dan Hanbaliyah
sepakat bahwa penerima wasiat Bapak berhak menikahkan seperti hak ijbar-nya
Bapak. Safi’iyah Ayah tidak mengakui adanya wali
dari penerima wasiat Bapak. Hanbaliyah
menambahkan bahwa wali hakim pun mempunyai hak ijbar.
c.
Syafi’iyah dan
Hanbaliyah sepakat bahwa wali ghair mujbir itu Bapak dan Kakek.Berbeda dengan
Malikiyah, yang berpendapat bahwa yang paling hak wali ghair mujbir adalah anak
laki-laki meskipun anak hasil zina. Begitu pula Hanafiyah yang berpendapat
bahwa wali ghair mujbir adalah anak laki-laki saja.
d.
Syafi’iyah, Hanbaliyah
dan Hanafiyah sepakat bahwa wali ab’ad dan wali hakim tidak boleh menikahkan
ketika ada wali atau aqrab. Berbeda dengan Malikiyah
bahwa urutan antarawali nikah itu sunnah. Siapa
saja boleh menikahkan baik yang aqrab, ab’ad,hakimdan
wali-wali dalam kategori wali ghair mujbir. Sementarawali
mujbir tetap harus didahulukan.
e.
Syafi’iyah,
Hanbaliyah, dan Malikiyah sepakat bahwa wali harus laki-laki tidak sah wali
perempuan. Hanafiyah berpendapat bahwa wali perempuan boleh ketika tidak ada
wali laki-laki.Malikiyah juga mensyaratkan pula bahwa wali perempuan boleh
kalau ia mendapat wasiat dari Bapak, atau hakim(perempuan) dan perempuan yang
memerdekakan hamba sahaya.
f.
Semua madzhab
sepakat bahwa wali nikah bisa diwakilkan atau diganti.
g.
MadzhabSyafi’iyah,
Hanbaliyah dan Malikiyah sepakat mewajibkan wali sebagai rukun nikah berdasarkan
surat Al-Baqarah ayat 232 dan hadits dari Aisyah. Adapun Hanafiyah
menolak dasar tersebut karena terdapat kedhaifan hadits
tersebut dan menurut Hanafiyah,
konteks ayat 232 surat Al-Baqarah tidak
menunjukkan keharusan adanya wali.[5]
F.
Sikap Orang Muslim Terhadap Perbedaan Pendapat
Perbedaan ulama dalam hukum adalah
masalah yang wajar, dan tak dapat dielakkan sesuai dengan kemungkinan
penafsiran nash-nash syari’ah, perbedaan kemampuan dan pemahamannya.
Terkadang hal itu membingungkan
sebagian orang yang mempelajari ilmu, mereka bingung tentang tata cara
menggabungkan pendapat yang timbul.
Menurut Al-Haidh ibnu Abdil Barr dalam bukunya Muhammad
Abul FatahAl-Bayanuni, bahwa Abu Umar berpendapat, “Para fuqaha berbeda pendapat mengenai hal ini atas dua pendapat:[6]
Pertama,
bahwa perbedaan para sahabat dan imam-imam sesudah mereka adalah
rahmat dan setiap manusia boleh mengkaji perbedaan para sahabat Rasulullah SAW
untuk mengambil pendapat mereka. Begitu pula siapa saja yang mengkaji
pendapat-pendapat dari para imam lainnya, selama ia tidak mengetahui bahwa hal
itu salah. Apabila jelas baginya, bahwa itu adalah salah karena berlawanan
dengan nash Al-Qur’an, Sunnah atau ijma’ ulama, maka tidak boleh mengikutinya.
Kedua,
pendapat Al-Laits bin said, Al- Auza’iy dan Abi Tsaur serta
golongan pengamat. Menurut mereka, “sesungguhnya, apabila perbedaan itu saling
bertentangan, maka ada yang salah dan ada yang benar. Yang wajib ketika terjadi
perbedaan di antara para ulama ialah mencari dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qias berdasarkan
prinsip-prinsipnya. Bila dalil-dalil menjadi sama, wajiblah mengamalkan yang
lebih mendekati Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seorang muslim wajib menentukan
sikap terhadap perbedaan-perbedaan fiqh. Keberadaan manusia dalam hidup ini,
terdiri dari tiga tingkatan, yaitu alim, awam, dan pelajar. Adalah merupakan
tindakan berlebihan dan kecerobohan bila melalaikan hal ini dan menyamaratakan
hukumnya atas mereka, karena tidak boleh kita mengangkat semua orang ke derajat
ulama dan mujtahidin, dan sebaliknya.[7]
Orang
alim, yang dimaksud disini adalah
mujtahid yang menetapkan hukum-hukum dengan derajatnya yang berbeda-beda. Orang
ini memeriksa masalah-masalah khilafiyah dan menguji dalil-dalil serta
berijtihad dalam menetapkan hukum, mengunggulkan dalil untuk mengamalkan
pendapat yang dianggapbenar.
Orang
awam, adalah orang yang tidak memiliki
ilmu yang berarti dan menyebabkannya ahli untuk memeriksa dalil-dalil. Orang
seperti ini harus bertaqlid kepada paraulma, yaitu kepada imam madzhabnya. Jika
imamnya termasuk orang yang mengkaji madzhab tertentu dan menganutnya, atau
mengikuti salah seorang alim yang bisa diandalkan.
Seorang awam dilarang mengamalkan
pendapat atau pemahamannya sendiri. Sebab hal itu berarti mengamalkan keinginan
hawa nafsunya dan bertentangan dengan firman Allah,”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Pelajar
adalah orang yang derajatnya di atas orang awam dan dibawah
mujtahid. Walaupun menghasilkan suatu ilmu dan makrifat yang mengangkatnya dari
derajat awam, tetapi ia tidak sampai pada derajat mujtahid.
Sesungguhnya pelajar itu menurut perbedaan
derajatnya tidak luput dari salah satu dari dua keadaan berikut:
a.
Kemampuan
meneliti dan memeriksa dalil-dalil dengan ilmu yang dimilikinya dan semangat
dalam mengadakan suatu penelitian untuk menghasilkan suatu ilmu berdasarkan
kitab-kitab rujukan yang sesuai dengan pembahasannya.
b.
Tidak adanya
kemampuan untuk melakukan itu, karena kekurangan ilmu atau kelemahan
semangatnya atau karena tidak tersedianya kitab-kitab rujukan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pengertian perbandingan
madzhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha’
(mujtahidin) beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai masalah, baik yang
disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan memandingkan dalil masing-masing
2. Tujuan dan manfaat mempelajari
perbandingan madzhab adalah untuk mengetahui
pendapat-pendapat para Imam madzhab dalam berbagai masalah yang diperselisihkan
hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan-alasan, untuk
mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan setiap Imam Madzhab
(Imam Mujtahid)
3.
Contoh
pandangan madzhab lain tentang wali menurut Hanafiyah bahwa Al-Quran ataupun hadis yang dijadikan
hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah, tidak memberikan isyarat bahwa
wali tersebut sebagai rukun nikah.Imam Malik, berpendapat “Tidak terjadi pernikahan,
kecuali dengan wali. Syafi’iyah berpendapat Wali adalah salah satu rukun nikah,
tidak sah pernikahan kecuali dengan wali. Menurut imam Hanbali wali itu sangat
(dharuri) dalam pernikahan.Tanpa wali atau orang yang menggantikan wali,
pernikahannya batal (tidak sah).
4. Cara menyikapi perbedaan madzhab adalah boleh
mengkaji perbedaan para sahabat Rasulullah SAW untuk mengambil pendapat mereka.
Apabila jelas baginya, bahwa itu adalah salah karena berlawanan dengan nash Al-Qur’an,
Sunnah atau ijma’ ulama, maka tidak boleh mengikutinya. Apabila perbedaan itu saling bertentangan, maka harus mencari
dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan
qias berdasarkan prinsip-prinsipnya.
B.
Saran
Demikian makalah yang kami buat,
apabila ada kekurangan maupun kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf. Kritik
dan saran yang mendukung senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman.
Perbandingan Madzhab. 1997. Bandung :
Sinar Baru Algensindo
Ded Supriyad. Fiqh Munakahat Perbandingan. 2009. Bandung : CV Pustaka
Setia
Huzaemah Tahido Yanggo. Pengantar Perbandingan Mazhab. 1997. Jakarta : Logos Wacana Ilmu
Muhammad Abul FatahAl-Bayanuni. Studi Tentang sebab-sebab Perbedaan Mazhab.1994. Surabaya : Mutiara
Ilmu
[1] Abdurrahman, Perbandingan Madzhab, 1997, Bandung,
Sinar Baru Algensindo, hlm., 16
[2]Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan
Mazhab, 1997, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, hlm., 83
[5] Ded Supriyad,Fiqh Munakahat Perbandingan,2009, Bandung, CV Pustaka Setia, hlm., 33-51
[6]Muhammad
Abul FatahAl-Bayanuni, Studi Tentang
sebab-sebab Perbedaan Mazhab, 1994, Surabaya, Mutiara Ilmu, hlm., 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar