Rabu, 08 Juni 2016

MENYIKAPI PANDANGAN MADZHAB LAIN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah suatu keniscayaan. Karakter agama Islam yang universal harus bisa mengikuti perkembangan zaman. Perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang telah dimulai di kalangan para sahabat semenjak Rasulullah SAW masih hidup. Perbedaan ini pada tataran akademis adalah hal yang wajar dan diperbolehkan, namun jika menimbulkan fanatisme yang pada akhirnya memicu perpecahan, bahkan permusuhan, maka hal inilah yang dilarang dalam Islam.
Melihat situasi saat ini banyak sekali perdebatan-perdebatan sesama muslim hanya gara-gara beda aliran (MAZHAB), sehingga banyak terjadi permusuhan diantara kaum muslim sendiri. Yang seharusnya tidak boleh terjadi.  Maka daripada itu kita semua harus bijak menyikapinya.
Perbedaan pendapat antar ulama yang kemudian muncul madzhab-madzhab fiqh dalam Islam adalah khazanah dan simbul kekayaan syariat yang besar yang merupakan kebanggaan dan izzah bagi umat Islam. Ini merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam sampai akhir zaman. Dalam pembahasan kali ini penulis akan sedikit menjelaskan tentang perbandingan madzhab dan cara mensikapinya.
B.     Rumusan Masalah
Dari makalah yang kami buat ini, yang dapat kami paparkan adalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian dari Perbandingan Madzhab?
2.      Bagaimana Aliran Mushawwibah dan Mukhaththiah?
3.      Apa Penyebab Munculnya Perbedaan?
4.      Apa Saja tujuan dan Manfaat Mempelajari Perbandingan Madzhab?
5.      Bagaimana Contoh yang Menjadi Bahasan Pandangan Madzhab Lain dan Cara Menyikapinya?
6.      Bagaimana Sikap Orang Muslim Terhadap Perbedaan Pendapat Ini?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perbandingan Madzhab
Perbandingan madzhab adalah memperbandingan satu madzhab dengan madzhab lainnya. Hal ini berarti, bahwa diantara madzhab-madzhab tersebut terdapat perbedaan. Sebab tidak akan dipergunakan kata perbandingan, kecuali terhadap barang-barang atau hal-hal yang satu sama lain berbeda. Perbedaan sesuatu dengan lainnya terutama dalam hal pendapat dan paham, tidak selamanya menunjukkan adanya pertentangan serta mengakibatkan timbulnya pertikaian dan permusuhan. Sebab tidak sedikit perbedaan yang disebabkan perbedaan zaman dan keadaan, menyebabkan berbedanya tindak dan pendapat atau berbedanya tanggapan. [1]
Perbandingan madzhab dalam bahasa Arab disebut Muqaranah al-Mazahib. Kata Muqaranah menurut bahasa, berasal dari kata kerja qarana- yuqarinu-muqaranatan yang berarti mengumpulkan, membandingkan dan menghimpun. Pengertian ini diambil dari perkataan orang Arab yang berarti menggabungkan sesuatu.[2]
Berdasarkan makna lughawi di atas, maka perbandingan madzhab menurut istilah ulama fiqh Islam adalah sebagai berikut:
Artinya : Perbandingan madzhab adalah mengumpulkan pendapat para Imam Mujtahidin dengan dalil-dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan padanya, kemudian membandingkan dalil-dalil itu satu sama lainnya, agar nampak setelah dimunaqasyahkan pendapat mana yang terkuat dalilnya.
Jadi, perbandingan madzhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha’ (mujtahidin) beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan memandingkan dalil masing-masing yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh mujtahidin untuk menentukan pendapat yang paling kuat dalilnya.

B.     Aliran Mushawwibah dan Mukhaththiah
Hakim apabila  berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Di dalam Islam, semua teks (al-Qur’an dan al-Hadits) yang berbentuk zhanni (dugaan) maka makna yang muncul dari teks itu selalu dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf fih). Bagi pengikut teori mushawwibah akan mengatakan bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu, yang benar tidak satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pengikut mukhath-thiah akan berpendapat bahwa semua kesimpulan yang banyak itu, yang benar cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada nilai kontradiktif.
Penilaian semacam itu muncul karena ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjective dan paradigma kualitative. Penalaran semacam ini kurang  memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-ada dan spekulasi yang merancang. Tentu saja asumsi seperti itu tidak selalu benar. Meskipun begitu, pengembangan ushul-fiqh seyogyanya berusaha keras untuk meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika dan kebenaran.
Logika dan kebenaran dalam ushul-fiqh tidak berbeda dengan metode penelitian ilmu social atau ilmu budaya. Logika tetap menjadi wahana untuk mencari kebenaran. Meskipun begitu, banyak sekali macam-macam logika yang dipergunakan untuk mencapai kebenaran itu. Tetapi tidak semuanya relevan bagi pengembangan ushul-fiqh. Macam-macam logika itu antara lain :
1.      Logika formal. Logika ini berusaha mencari kebenaran dengan mencari relasi antar muqaddimah shugra dan kubra dengan tujuan untuk menggeneralisasikan natijah yang ada pada setiap syakal (qiyas manthiqi). Logika ini tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh. karena ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti itu, tetapi transferabilitas.
2.      Logika matematik. Logika ini pencarian kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil seperti tiga kali tiga itu sembilan. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti  dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh statistika dan bisa berlaku bagi penelitian ilmu social, ilmu budaya, termasuk ilmu agama yang penganut faham posistivistik.
3.      Logika reflektif, yaitu cara berfikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan  dan penjabaran. Logika ini berlangsung cepat dan bisa memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, logika ini disebut pendekatan dzauqi yang bisa berkembang sampai laduni.
4.      Logika kualitatif, yakni pencarian kebenaran berdasarkan paparan deskriptif data di lapangan atau di perpustakaan. Kualitas kebenarannya didasarkan pada realitas yang ada.
5.      Logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran berdasarkan pemakaian bahasa. Logika ini banyak diminati oleh penelitian al-Qur’an dan semacam penelitian yang memerlukan penafsiran.
Dari macam-macam logika di atas, ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika kualitatif dan logika linguistik. Suatu saat logika reflektif pun dipakai pula, terutama untuk mengembangkan dalil metodologis seperti istihsan dan mashalih mursalah. Logika kualitatif banyak dipergunakan untuk mengembangkan dalil sosiologis seperti ijma’, qaul shahabi, dan lain-lain. Sedangkan logika linguistik dipergunakan untuk mengembangkan dalil normative, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits.
Kebenaran dalam ushul-fiqh adalah nisbi (zhanni) dan relative (mukhtalaf fih), dan menganut hukum probabilitas (ijtihadiah). Titik tolak ushuliyun semacam itu adalah kebenaran kreatif  cerdas, dan tidak menyalahkan orang lain seperti meng-hakimi salah, bid’ah, jumud, dan sebagainya. Tentu saja pendirian ushuliyun seperti itu tidak disetujui oleh agamawan yang taat pada kebenaran matematis. Di antara mereka ada yang berkata : Allah itu satu. Nabi Muhammad itu satu, dan Al-Qur’an juga satu, maka seharusnya pemikiran Islam pun satu pula (bersatu). Padahal sulit dipungkiri bahwa kebenaran kreatif pun akan mampu mewadahi aspirasi kebenaran yang kecil-kecil, yaitu kebenaran yang jarang teradopsi oleh ilmuan yang selalu berfikir global.
Perlu dipertimbangkan, baik oleh pengikut mushawwibah atau mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) adalah unik, dan inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena itu tuntutan kebenaran dan atau objektivitas ushul fiqh hendaknya dicari bukan seperti fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-hal yang secara fisik teramati, terulang, dan teratur, maka perilaku manusia tidak selamanya bergerak seperti itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya mampu diolah menjadi objective apabila dilukiskan secara verstehen (mudah terfahami). Jika fiqh yang diproduksi melalui ushul-fiqh tadi dapat diterima oleh masyarakat, berarti dalam ushul fiqh tadi ada kejelasan. Kejelasan inilah yang disebut kebenaran.

C.    Sebab-sebab Munculnya Perbedaan
Secara pasti, kenyataan ini akan menyebabkan adanya perbedaan hukum-hukum dalam dalam masalah furuu’iyyah dikarenakan perbedaan dalam pemahaman dan hasil-hasil ijtihad yang dilakukan. Mustahil pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang ada bersatu serta sepakat dalam menyikapi hal-hal yang bersifat furuu’iyyah. Hal ini dikarenakan adanya beberapa sebab. Hasan al Banna dalam risalahnya yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi, menyebutkan sebab-sebab yang paling esensial dan sebagai inti dari sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Perbedaan kekuatan akal dalam melakukan istinbath ‘dedukasi hukum’, dalam memahami dalil-dalil, menyelami kandungan-kandungan makna, dan dalam menghubungkan antara hakikat yang satu dengan hakikat yang lain. Agama merupakan gabungan dari ayat-ayat, hadits-hadits, dan nash-nash yang ditafsirkan oleh akal pikiran melalui batasan-batasan bahasa dan kaidah-kaidahnya. Dalam hal ini, setiap orang pasti saling berbeda. Karena itu, perbedaan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
2.      Adanya kenyataan perbedaan banyak dan sedikitnya ilmu seseorang. Dalam artian, ada ilmu yang telah sampai kepada seseorang, namun tidak sampai kepada orang lain, orang ini keilmuannya begini dan yang lain begitu. Karena itu, Imam Malik pernah berkata kepada Abu Ja’far al-Manshur ketika ia ingin memaksa semua orang untuk menggunakan kitab al-Muwaththa’, “Adalah para sahabat Rasulullah tersebar di berbagai penjuru negeri, dan pada setiap kaum mempunyai corak keilmuan sendiri. Jika kau membawa semua orang kepada satu pendapat, maka hal itu akan menimbulkan fitnah.”
3.      Perbedaan kondisi dan lingkungan. Karenannya, kita melihat fikih penduduk Irak berbeda dengan fikih penduduk orang-orang Hijaz.
4.      Perbedaan kemantapan hati terhadap suatu riwayat ketika menerimanya. Kita menemukan seorang perawi menurut seorang imam adalah tsiqah ‘terpercaya’. Karenanya, imam tersebut jiwanya merasa tenang, dan diriya merasa baik. Maka, ia merasa baik mengambil riwayat darinya. Dan, menurut imam yang lain perawi itu cacat, setelah diketahui dari keadaannya (yang membuat cacat).
5.      Perbedaan dalam menentukan kualitas indikasi dalil. Misalnya, imam ini berpendapat bahwa praktek yang dilakukan orang-orang didahulukan atas hadits ahad, namun imam yang lain tidak setuju dengan hal tersebut. Atau, imam ini mengambil dan mengamalkan hadits mursal, tapi imam yang lain tidak.

D.    Tujuan dan Manfaat Mempelajari Perbandingan Madzhab
Adapun tujuan dan manfaat mempeajari perbandingan madzhab antara lain sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pendapat-pendapat para Imam madzhab (para Imam Mujthid) dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan-alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara-cara istinbath hukum dari dalilnya oleh mereka. Dengan mempelajari dalil-dalil yang digunakan oleh para Imam Madzhab tersebut dalam menetapkan hukum, orang yang yang melakukan studi perbandingan madzhab akan mendapat keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar dan meyakinkan akan ajaran agamanya dan akan memperoleh hujjahang jelas dalam melaksanakan ajaran agamanya, sehingga ia tergolong ke dalam kelompok orang yang disebut dalam al-Quran sebgai berikut:[3]
Artinya :Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik. (Q.S. Yusuf: 108)

Dengan demikian akan terlepas dari kelompok orang yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”, mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati Bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyng mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan (pula) tidak mendapatkan petunjuk? (Q.S. al-Maidah: 104)
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan setiap Imam Madzhab (Imam Mujtahid) dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya, dimana setiap Imam Mujtahid tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil al-Qur’an atau Sunnah. Sebagai buah dari cara ini, orang yang melakukan studi tersebut, akan menjadi orang yang benar-benar menghormati semua Imam Madzhab tanpa membedakan satu dengan lainnya, karena pandangan dan dalil yang dikemukakan masing-masing pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan ijtihad. Maka sepantasnyalah orang yang mengikuti (bertaklid) kepada salah satu Imam Madzhab itu mengikuti pula jejak dan petunjuk imamnya dalam menghormati imam lain.
3.      Dengan memperhatikan landasan berpikir para Imam Madzhab, orang yang melakukan studi perbandingan madzhab dapat mengetahui, bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari Nushush al-Qur’an dan Sunnah dengan perbedaan interprestasi, atau mereka mengambil Qiyas, Mashalah Mursalah, Istishab, atau prinsip-prinsip umum dalam nash-nash Syari’at Islam dalam menyelesaikan semua persoalan yang hidup dalam masyarakat, baik ibadah, maupun mu’amalah, yang dalil-dalil ijtihad itupun digali dari nash-nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dengan demikian orang-orang yang melakukan studi perbandingan madzhab itu akan memahami, bahwa perbuatan dan amalan sehari-hari dari pengikut madzhab yang lain itu, bukan diatur oleh hukum diluar islam, karena itu mereka tidak mengkafirkannya.
Dengan pengertian di atas, akan timbul rasa saling menghormati dengan yang berbeda pendapat. Ini mengisyaratkan, bahwa Islam menghargai kebebasan menyatakan pendapat. Perbedaan pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan dan perpecahan, tetapi hendaknya perbedaan pendapat itu dimanfaatkan untuk menemukan suatu kemudahan karena adanya alternatif bagi umat manusia dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang beraneka ragam dan terus berkembang. Pada zaman era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi dewasa ini, banyak masalah-masalah baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang menghendaki penentuan hukumnya. Sudah tentu tidak semua masalah actual itu bisa dipecahkan kalau hanya berpegang kepada satu system dan satu macam cara istinbath hukum yang akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Menurut agama, kesulitan dan kesempitan itu secara principal harus dihilangkan, sebagaimana ditegaskan dalam nash al-Qur’an. Allah berfirman: [4]
Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S Al-Baqarah: 185)
Dalam Hadist Rasulullah menyatakan:
Permudahlah dan jangan kamu persulit. Dan apabila marah salah seorang di antara kamu, maka hendaklah dia diam. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).

Dalam Hadits yang lain Rasulullah bersabda:
Perbedaan pendapat dari umatku (ulama) adalah rahmat. (H.R. Al-Baihaqy dari Ibnu Umar).
Hadits di atas mengisyaratkan kepada kita untuk mengikuti madzhab mana saja yang dianggap lebih kuat dalil argumentasinya. Untuk itu kita perlu mengetahui cara muqaranah atau menguasai Ilmu Perbandingan Madzhab.

E.     Contoh yang Menjadi Bahasan Pandangan Madzhab Lain
Berikut ini contoh beberapa pandangan menurut madzhab empat tentang wali dalam pernikahan, diantaranya :
1.       Menyikapi Pandangan Hanafiyah tentang Wali
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Hanafiyah menyadarkan pada rasionalitas dalam membuat keputusan hukum. Hal ini terlihat ketika mereka berpandangan bahwa status wali hanyalah syarat perkawinan, bukan rukun perkawinan. Ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah terdiri atas ijab dan qabul. Status wali menjadi syarat sahnya perkawinan khusus anak kecil, baik perempuan maupun laki-laki, orang gila (madznun) perempuan / laki-laki meskipun orang dewasa. Adapun orang dewasa yang sudah baligh, baik janda maupun gadis tidak berada dalam kekuasaan wali, cukuplah bagi kedua mempelai tersebut dengan akad nikah (ijab/qabul) dengan syarat keduanya kafaah. Jika tidak (kafaah), wali memiliki hak untuk membatalkan atau memfasakhakad tersebut. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa status wali dalam madzhab Hanafiyah, bukan merupakan rukun sebagai syarat sahnya pernikahan, melainkan sebagai jalan alternatif atau pelengkap sahnya perkawinan dengan syarat tertentu.
Rasionalitas tentang wali dalam pandangan madzhab Hanafiyah didasarkan bahwa akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu, syaratnya cukup dengan ijab dan qabul. Posisi wali hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri yang masih kecil. Selain itu, secara istidhal, Hanafiyah berpandangan bahwa Al-Quran ataupun hadis yang dijadikan hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah, tidak memberikan isyarat bahwa wali tersebut sebagai rukun nikah.


2.      Pandangan Malikiyah tentang Wali
Imam Malik, sebagaimana dikutip Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa “Tidak terjadi pernikahan, kecuali dengan wali. Wali adalah syarat sahnya pernikahan sebagaimana riwayat hadis Asyhab. Atas pemikiran Malik, para pengikut Imam Malik atau dikenal dengan Malikiyah, lebih tegas berpendapat, “Wali adalah rukub dari sebagian rukun nikah, tidak sah akad nikah tanpa adanya wali.”
Dasar keharusan wali dalam nikah dalam madzhab Maliki dan madzhab yang sepakat terhadap wali sebagai syarat sahnya pernikahan adalah surat Al-Baqarah ayat 232 dan 221 dan beberapa hadis Nabi SAW. Sebagaimana dijelaskan di atas. Secara lengkap, Ibnu Rusyd menguraikan sebagai berikut :
“. . . orang yang menjadikan wali sebagai syarat sebuah perkawinan sebagai mana Al-Quran yang menyebutkan :
Artinya :
“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjadi kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu kamu yang betiman kepada Allah dan hari akhir. Itulah lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Kitab ayat ini dengan jelas ditunjukkan kepada para wali dan juga ayat 221 surat Al-Baqarah :
Artinya :
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahin orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelummereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
3.      PandanganSyafi’iyah tentang Wali
Sebagaimana yang dikutip dalam bukunya Ded Supriyad,MadzhabSyafi’iyah dalam hal ini diwakili oleh Imam Taqiuddin menjelaskan bahwa “ Wali adalah salah satu rukun nikah, tidak sah pernikahan kecuali dengan wali
Dasar Wali yang digunakan dalam madzhabSyafi’iyah sebagai berikut :Al Quran surat Al Baqarah ayat 232 yang artinya : “ Maka jangan kamu menghalangi mereka menikah lagi dengan calon suaminya”.
 Ayat diatas diturunkan kepada Mu’qil Ibnu Yasar ketika menolak untuk menikahkan saudara perempuannya yang ditolak oleh suaminya. Menurut Imam As Syafii ayat ini jelas sekali menunjukkan status wali sebagai hal yang wajib dalam pernikahan.
4.      Pandangan Hanbaliyah tentang wali
Sebagaimana dalam bukunya Ded Supriyad,MadzhabHanbaliyah dalam memandang Wali, pada dasarnya sama dengan madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah. Ketiga madzhab tersebut berpendapat bahwa wali itu sangat (dharuri) dalam pernikahan.Tanpa wali atau orang yang menggantikan wali, pernikahannya batal (tidak sah). Seorang wanita tidak boleh menikah sendiri dengan akad pernikahannya sendiri dalam keadaan apapun, baik kepada gadis atau laki-laki yang dewasa maupun yang belum dewasa, kecuali janda yang harus diminta izin dan Ridhonya. Berbeda dengan Hanafiah yang berpandangan bahwa Wali itu penting atau (dharuri) hanya untuk gadis yang belum dewasa dan orang dewasa (perempuan) yang gila, sementara orang dewasa, baik gadis maupun janda,mereka memiliki hak sendiri untuk menikah sendiri dengan orang yang disukainya.
 Adapun pengambilan dalil madzhab Hanafiah termasuk kelompok ulama jumhur tentang keharusan adanya wali berdasarkan Al-Quran adalah, yang artinya : “Dan nikahlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak menikah dari hamba hamba sahaya mu yang laki-laki dan perempuan”
Landasan normatif hadis tentang wali yang digunakan dalam madzhab Hambali, meskipun sama dengan madzhabSyafi’iyah dan Malikiyah tetapi berbeda redaksi hadisnya sebagai berikut, yang artinya : “dari Abu Burdah Ibnu Abi Musa dari bapaknya berkata Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallah bersabda tidak ada nikah kecuali dengan wali”.
5.      Persamaan dan perbedaan empat Madzhab Fiqh
a.         Malikiyah Syafi’iyah dan Hanbaliyah, sepakat keharusan adanya wali atau pengganti dalam setiap pernikahan, baik untuk gadis maupun janda, baik dewasa maupun belum dewasa. Berbeda dengan ketiga madzhab tersebut, Hanbaliyah berpandangan bahwa keharusan adanya wali hanya untuk gadis yang belum dewasa dan yang dewasa, tetapi gila. Adapun bagi yang dewasa berakal sehat, baik gadis maupun janda, mereka mempunyai hak untuk menikahkan dirinya sendiri kepada orang yang dikehendaki.
b.        Syafi’iyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa mujbir itu Bapak dan Kakek. Berbeda dengan Malikiyah, wali mujbir itu Bapak saja. Malikiyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa penerima wasiat Bapak berhak menikahkan seperti hak ijbar-nya Bapak. Safi’iyah Ayah tidak mengakui adanya wali dari penerima wasiat Bapak. Hanbaliyah menambahkan bahwa wali hakim pun mempunyai hak ijbar.
c.         Syafi’iyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa wali ghair mujbir itu Bapak dan Kakek.Berbeda dengan Malikiyah, yang berpendapat bahwa yang paling hak wali ghair mujbir adalah anak laki-laki meskipun anak hasil zina. Begitu pula Hanafiyah yang berpendapat bahwa wali ghair mujbir adalah anak laki-laki saja.
d.        Syafi’iyah, Hanbaliyah dan Hanafiyah sepakat bahwa wali ab’ad dan wali hakim tidak boleh menikahkan ketika ada wali atau aqrab. Berbeda dengan Malikiyah bahwa urutan antarawali nikah itu sunnah. Siapa saja boleh menikahkan baik yang aqrab, ab’ad,hakimdan wali-wali dalam kategori wali ghair mujbir. Sementarawali mujbir tetap harus didahulukan.
e.         Syafi’iyah, Hanbaliyah, dan Malikiyah sepakat bahwa wali harus laki-laki tidak sah wali perempuan. Hanafiyah berpendapat bahwa wali perempuan boleh ketika tidak ada wali laki-laki.Malikiyah juga mensyaratkan pula bahwa wali perempuan boleh kalau ia mendapat wasiat dari Bapak, atau hakim(perempuan) dan perempuan yang memerdekakan hamba sahaya.
f.         Semua madzhab sepakat bahwa wali nikah bisa diwakilkan atau diganti.
g.        MadzhabSyafi’iyah, Hanbaliyah dan Malikiyah sepakat mewajibkan wali sebagai rukun nikah berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 232 dan hadits dari Aisyah. Adapun Hanafiyah menolak dasar tersebut karena terdapat kedhaifan hadits tersebut dan menurut Hanafiyah, konteks ayat 232 surat Al-Baqarah tidak menunjukkan keharusan adanya wali.[5]

F.     Sikap Orang Muslim Terhadap Perbedaan Pendapat
Perbedaan ulama dalam hukum adalah masalah yang wajar, dan tak dapat dielakkan sesuai dengan kemungkinan penafsiran nash-nash syari’ah, perbedaan kemampuan dan pemahamannya.
Terkadang hal itu membingungkan sebagian orang yang mempelajari ilmu, mereka bingung tentang tata cara menggabungkan pendapat yang timbul.
Menurut Al-Haidh ibnu Abdil Barr dalam bukunya Muhammad Abul FatahAl-Bayanuni, bahwa Abu Umar berpendapat, “Para fuqaha berbeda pendapat mengenai hal ini atas dua pendapat:[6]
Pertama, bahwa perbedaan para sahabat dan imam-imam sesudah mereka adalah rahmat dan setiap manusia boleh mengkaji perbedaan para sahabat Rasulullah SAW untuk mengambil pendapat mereka. Begitu pula siapa saja yang mengkaji pendapat-pendapat dari para imam lainnya, selama ia tidak mengetahui bahwa hal itu salah. Apabila jelas baginya, bahwa itu adalah salah karena berlawanan dengan nash Al-Qur’an, Sunnah atau ijma’ ulama, maka tidak boleh mengikutinya.
Kedua, pendapat Al-Laits bin said, Al- Auza’iy dan Abi Tsaur serta golongan pengamat. Menurut mereka, “sesungguhnya, apabila perbedaan itu saling bertentangan, maka ada yang salah dan ada yang benar. Yang wajib ketika terjadi perbedaan di antara para ulama ialah mencari dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qias berdasarkan prinsip-prinsipnya. Bila dalil-dalil menjadi sama, wajiblah mengamalkan yang lebih mendekati Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seorang muslim wajib menentukan sikap terhadap perbedaan-perbedaan fiqh. Keberadaan manusia dalam hidup ini, terdiri dari tiga tingkatan, yaitu alim, awam, dan pelajar. Adalah merupakan tindakan berlebihan dan kecerobohan bila melalaikan hal ini dan menyamaratakan hukumnya atas mereka, karena tidak boleh kita mengangkat semua orang ke derajat ulama dan mujtahidin, dan sebaliknya.[7]
Orang alim, yang dimaksud disini adalah mujtahid yang menetapkan hukum-hukum dengan derajatnya yang berbeda-beda. Orang ini memeriksa masalah-masalah khilafiyah dan menguji dalil-dalil serta berijtihad dalam menetapkan hukum, mengunggulkan dalil untuk mengamalkan pendapat yang dianggapbenar.
Orang awam, adalah orang yang tidak memiliki ilmu yang berarti dan menyebabkannya ahli untuk memeriksa dalil-dalil. Orang seperti ini harus bertaqlid kepada paraulma, yaitu kepada imam madzhabnya. Jika imamnya termasuk orang yang mengkaji madzhab tertentu dan menganutnya, atau mengikuti salah seorang alim yang bisa diandalkan.
Seorang awam dilarang mengamalkan pendapat atau pemahamannya sendiri. Sebab hal itu berarti mengamalkan keinginan hawa nafsunya dan bertentangan dengan firman Allah,”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Pelajar adalah orang yang derajatnya di atas orang awam dan dibawah mujtahid. Walaupun menghasilkan suatu ilmu dan makrifat yang mengangkatnya dari derajat awam, tetapi ia tidak sampai pada derajat mujtahid.
Sesungguhnya pelajar itu menurut perbedaan derajatnya tidak luput dari salah satu dari dua keadaan berikut:
a.       Kemampuan meneliti dan memeriksa dalil-dalil dengan ilmu yang dimilikinya dan semangat dalam mengadakan suatu penelitian untuk menghasilkan suatu ilmu berdasarkan kitab-kitab rujukan yang sesuai dengan pembahasannya.
b.      Tidak adanya kemampuan untuk melakukan itu, karena kekurangan ilmu atau kelemahan semangatnya atau karena tidak tersedianya kitab-kitab rujukan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pengertian perbandingan madzhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha’ (mujtahidin) beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan memandingkan dalil masing-masing
2.      Tujuan dan manfaat mempelajari perbandingan madzhab adalah untuk mengetahui pendapat-pendapat para Imam madzhab dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan-alasan, untuk mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan setiap Imam Madzhab (Imam Mujtahid)
3.      Contoh pandangan madzhab lain tentang wali menurut Hanafiyah bahwa Al-Quran ataupun hadis yang dijadikan hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah, tidak memberikan isyarat bahwa wali tersebut sebagai rukun nikah.Imam Malik, berpendapat “Tidak terjadi pernikahan, kecuali dengan wali. Syafi’iyah berpendapat Wali adalah salah satu rukun nikah, tidak sah pernikahan kecuali dengan wali. Menurut imam Hanbali wali itu sangat (dharuri) dalam pernikahan.Tanpa wali atau orang yang menggantikan wali, pernikahannya batal (tidak sah).
4.      Cara menyikapi perbedaan madzhab adalah boleh mengkaji perbedaan para sahabat Rasulullah SAW untuk mengambil pendapat mereka. Apabila jelas baginya, bahwa itu adalah salah karena berlawanan dengan nash Al-Qur’an, Sunnah atau ijma’ ulama, maka tidak boleh mengikutinya. Apabila perbedaan itu saling bertentangan, maka harus mencari dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qias berdasarkan prinsip-prinsipnya.

B.     Saran
Demikian makalah yang kami buat, apabila ada kekurangan maupun kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang mendukung senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Perbandingan Madzhab. 1997. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Ded Supriyad. Fiqh Munakahat Perbandingan. 2009.  Bandung : CV Pustaka Setia
Huzaemah Tahido Yanggo. Pengantar Perbandingan Mazhab. 1997. Jakarta : Logos Wacana Ilmu
Muhammad Abul FatahAl-Bayanuni. Studi Tentang sebab-sebab Perbedaan Mazhab.1994. Surabaya : Mutiara Ilmu



[1] Abdurrahman, Perbandingan Madzhab, 1997, Bandung, Sinar Baru Algensindo, hlm., 16
[2]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 1997, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, hlm., 83
[3]Ibid, hlm., 86
[4]Ibid, hlm., 88
[5] Ded Supriyad,Fiqh Munakahat Perbandingan,2009,  Bandung, CV Pustaka Setia, hlm., 33-51
[6]Muhammad Abul FatahAl-Bayanuni, Studi Tentang sebab-sebab Perbedaan Mazhab, 1994, Surabaya, Mutiara Ilmu, hlm., 55
[7]Ibid, hlm., 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puncak Natas Angin; Puncak dengan Jalur yang istimewa

Setelah beberapa lama merindukan angin malam diatas ketinggian, kali ini aku punya kesempatan untuk menakhlukan Puncak Natas angin bersama ...