BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dinasti Fatimiah adalah
salah satu dari Dinasti Syi’ah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di
Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu
yang berpusat di Baghdad, yaitu Dinasti Abbasiyah. Dinasti Fatimiah didirikan
oleh Sa’id bin Husain. Berakhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di awal abad
kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah
yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah
di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di
bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah,
Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti
Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Dinasti ini mengalami
masa kejayaan pada pemerintahan Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada
masa Dinasti Fatimiah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid
ini berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti ini
berakhir setelah Al-Adid sebagai Khalifah terakhir, jatuh sakit. Dinasti
Fatimiah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki
andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Dari Dinasti Fatimiyah ?
2.
Siapa Saja Para pemimpin Dinasti fatimiyah ?
3.
Bagaimana Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah ?
4.
Bagaimana Kemunduran Dinasti Fatimiyah ?
5. Bagaimana Tingkat Kehidupan Masyarakat dan Sistem
Administrasi Fatimiyah?
6.
Bagaimana Perkembangan Pengetahuan,
Seni, dan Asitektur?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Dinasti fatimiyah
Dinasti
fatimiyah adalah satu-satunya dinasti syiah dalam Islam. Dinasti ini didirikan
di Tunisia pada 909 M. Dinasti ini didirikan oleh Sa’id ibn Husayn. Kemunculan
Sa’id penerus ibn Maymun yang sangat mencengangkan ini merupakan puncak dari
propaganda sekte Ismailiyah yang terampil dan terorganisir dengan baik.
Kesuksesan mereka itu sama dengan kesuksesan gerakan pertama sekte ini, yang
pernah berhasil menggoyang kekhalifahan umayyah. Keberhasilan gerakan ini tidak
bisa dilepaskan dari upaya personal dari (propagandis) utama sekte ini yaitu
Abu Abdullah al Husayn al Syi’i. Ia adalah seorang penduduk asli shan’a Yaman,
yang menjelang awal abad ke-9 memproklamirkan dirinya sebagai pelopor Mahdi dan
menyebarkan hasutan di tengah suku Berber di afrika Utara, khususnya suku
kitamah. [1]
Abu Abdullah,
seorang penghancur gerakan ini muncul pada akhir abad IX diantara suku Barbar
Kutama di Tunisia sekitar tahun 893. Menjelang
tahun 909 ia sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti
Aghlabi dari ibu kota mereka dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang
Ubaidillkah yang diakui sebagai pemimpin gerakan datang ke Afrika Utara
bergabung dengan merkea dan menempatkannya dibekas ibukota Aghlabi. Ia diakui
sebagai imam Al Mahdi pada bulan Januari 910 M dan menjabat sebagai Amir Al
Mukminin.
Kedua gelar
inilah yang membedakan antara kaum Fatimiyah dan dinasti lokal lainnya.
Golongan Fatimiyah tidak hanya menolak kekuasaan Abbasiyah tetapi menyatakan
bahwa merekalah yang sebenarnya paling berhak memerintah seluruh kerajaan
Islam. Lagipula mereka mempunyai pendukung-pendukung di Syuriah, Yaman, dan
bagian-bagian wilayah Abbasiyah lainnya.
Pekerjaan
fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka
adalah keturunan fatimah putri Rasul dan istri dari Ali Bin Abi Thalib. Tugas
yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai seorang jendral bernama
Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam
zaman itu. Berkat perjuangan jendral Jauhar, Mesir dapat direbut. Tugas utamanya
adalah :
1.
Mendirikan ibu kota baru yaitu Kairo
2.
Membina suatu universitas Islam yaitu Al Azhar
3.
Menyebarluaskan ideologi fatimiyah yaitu syi’ah, ke Palestina,
Syiria dan Hijaz.[2]
B.
Para Pemimpin Dinasti Fatimiyah
Kemelut dalam
lingkungan daulat Fatimiyah (909-11171 M) di Mesir itu memuncak pada tahun 556
H/1161 M sampai kepada tumbang pada tahun 567 H/1171 M. Kemelut itu bukan
mendadak muncul sekitar tahun itu, akan semenjak khalif Al Muntashir (1035-1094
M). Perikeadaan itu diwarisi oleh khalif-khalif
berikutnya, yakni selama 65 tahun lamanya sampai masa khalif Al Adhid
Lidinillah (1159-1171 M). Di tangan khalif terakhir itu memuncaklah kemelut
tersebut.
Berikut ini
nama-nama Pemimpin Dinasti Fathimiyah :[3]
1.
Ubaidullah
Al Mahdi (909-934)
2.
Al
Qaim Biamrillah (934-945)
3.
Al
Manshur Billah (945-952)
4.
Al
Muiz Lidinillah (952-975)
5.
Al
Aziz Billah (975-996)
6.
Al
Hakim Biamrillah (996-1020)
7.
Al
Zahir Li’zazi Dinilah (1020-1035)
8.
Al
Mustanshir Billah (1035-1094)
Nizzar Billah 9.
Al Musta’li Billah
(1094-110) Al
Mustain
10. Al Amir Biahkamillah (1101-1129)
11.
Al Hafidz Lidinillah (1129-1148)
12. Al Zafir Billah
(1148-1153)
13. Al Faiz Billah
(1153-1159)
14. Al Adhid Lidinillah (1159-1171)
C.
Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah
Sepanjang
kekuasaan Abu manshur Nizar al Aziz (975-996), kerajaan Mesir senantiasa
diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah
pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.[4]
Dibawah kekuasaannya dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaan. Nama sang
khalifah selalu disebut-sebut dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah
kekuasaannya yang membentang dari atlantik hingga laut merah juga di
masjid-masjid Yaman, Mekah, Damaskus, bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung
kekuasaannya meliputi wilayah yang sangat luas. Ia berhasil menempatkan
kekhalifahan Fatimiyah sebagai Negara Islam terbesar dikawasan Mediterania
Timur.
Bisa dikatakan
bahwa diantara para khalifah fatimiyah, khalifah Al Aziz adalah khalifah yang
paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup dikota Kairo yang mewah dan
cemerlang, dikelilingi beberapa masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang
baru serta memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat kristen, sesuatu
yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan perilakunya ini tidak
pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen Isa Ibn Nasthur, dan
istrinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya,
alhakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di
Iskandariyah dan Yerusalem.
Kemunduran
Dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-‘Aziz. Keruntuhan
itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari
Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpastian
dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan
dari suku Berber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan dinasti ini. Adalah
para perajurit dan budak-budak yang berasal dari Sircasse dan Turki yang
kemudian merebut kekuasaan puncak dari tangan keluarga Fatimiyah, kemudian
mendirikan dinasti-dinasti baru.[5]
D.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Usaha Badr
maupun anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Malik al-Afdhal, yang naik tahta
setelah ayahnya meninggal pada 1094, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti
itu.
Tahun-tahun
terakhir kekuasaan Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseturuan terus
menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing.
Ketika al-Mustanshir mati, al-Malik al-Afdhal menempatkan anak khalifah paling
muda sebagai khalifah dengan julukan al-Musta’ali dengan harapan bahwa ia akan
memerintah dibawah pengaruhnya. Setelah al-Musta’ali, anaknya yang berumur lima
tahun, dinyatakan sebagai khalifah oleh al-Afdhal, dan memberinya gelar
kehormatan al-Amir (1101-1130). Ketika al-Hafizh (1130-1149) meninggal,
kekuasaanya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan. Anak dan
penggantinya, al-Zhafir (1149-1154) masih sangat muda hingga kemudian
kekuasaannya direbut oleh seorang wazir dari Kurdistan ibn al-Sallar, yang
menyebut dirinya sebagai al-Malik al-Adil. Catatan-catatan Usamah, yang
menghasilkan waktu antara 1144 dan 1154 di istana Fatimiyah, menunjukkan bahwa
tidak ada istana yang bersih dari tipu daya, permusuhan dan kecemburuan.[6]
Pembunuhan
Ibn al-Sallar (1153) oleh istri cucunya Nashr ibn ‘Abbas, yang kemudian disebut
oleh khalifah untuk menghabisi nyawa ayahnya, Ibn ‘Abbas, pengganti Ibn
al-Sallar sebagai wazir, juga pembunuhan misterius al-Zafir sendiri oleh suatu
persekongkolan, menorehkan satu bagian paling gelap dalam sejarah Mesir. Hari
kedua setelah meninggalnya khalifah, Abbas mengumumkan anak al-Zafir yag
berusia empat tahun, yakni al-Fa’iz sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah
kecil ini meninggal pada usia sebelas tahun, dan digantikan oleh sepupunya,
al-Adhid yang berumur Sembilan tahun. Ia menjadi khalifah yang keempat belas
dan yang terakhir dalam garis dinasti Fatimiyah yang berkuasa selama lebih dari
dua abad setengah. Kehidupan masyarakat yang sangat sulit, yang menjadikan
aliran sungai Nil sebagai sumber penghidupan mereka, semakin parah dengan
bencana kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi. Akibatnya adalah
pajak yang tinggi dan pemerasan yang umum terjadi untuk memuaskan kebutuhan
khalifah dan angkatan bersenjata yang rakus. Keadaan semakin parah dan rumit
dengan datangnya pasukan Perang Salib dan serangan balasan dari Almaric, Raja
Yerusalem, yang pada 1167 telah berdiri di pintu gerbang Kairo. Keadaan
menyedihkan itu diakhiri oleh Shalah al-Din yang pada 1171 menurunkan khalifah
Fatimiyah yang terakhir dari tahtannya
E. Tingkat
Kehidupan Masyarakat dan Sistem Administrasi Fatimiyah
Mesir
merupakan satu-satunya negara yang paling lama merasakan kekuasaan Fatimiyah.
Di tanah itulah para penerus Ubaydullah al-Mahdi menanamkan karakteristik khas
budaya mereka yang sangat berpengaruh. [7]
Dari sisi
politik, periode fatimiyah menandai munculnya zaman baru dalam sejarah bangsa
ini, yang untuk pertama kalinya sejak periode firaun menjadi penguasa penuh
dengan kakuatan yang besar, dan didasarkan atas prinsip keagamaan.
Meskipun
masa keemasan dalam sejarah Fatimiyah di Mesir dimulai pada periode al-Mu’izz
dan memuncak pada masa al ‘Aziz, pada periode kekuasaan al-Muntashir, Mesir
masih diakui sebagai negara Islam yang paling maju. Seorang Persia yang menjadi
propagandis sekte Ismailiyah, Nashir I Khusraw, yang mengunjungi negara ini
pada 1046-1049, beberapa saat sebelum terjadi kehancuran ekonomi politik,
meninggalkan untuk kita sebuah catatan tentang kecemerlangan Mesir ketika itu.
Ia mengatakan bahwa istana khalifah mempekerjakan 30.000 orang, 12.000 orang di
antaranya adalah pelayan dan 1.000 orang pengurus kuda. Khalifah muda, yang
dilihat oleh al-Nashir dalam sebuah perayaan menunggangi keledai, terlihat
sangat mempesona. Menggunakan pakaian sederhana berupa qufthan, dan sorban
berwarna putih. Seorang pelayan membawa payung yang dihiasi batu-batu mulia
menaungi kepala khalifah. Tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan 60 tiang
pancang, berlabuh ditepi sungai Nil. Khalifah al-Nashir memiliki 20.000 rumah
di ibu kota, hampir semuanya dibangun dengan batu bata, dengan ketinggian
hingga lima atau enam lantai. Ia juga memiliki ribuan toko yang masing-masing
bisa menghasilkan dua hingga sepuluh dinar perbulan. Jalan-jalan utama diberi
atap dan diterangi lampu. Para penjaga toko menjual denga harga yang telah
ditetapkan. Jika ada seorang pedagang yang curang, ia akan dipertontonkan di
atas sepanjang jalan kota sambil membunyikan lonceng dan mengakui kesalahannya.
Saking amannya, bahkan toko perhiasan atau tempat penukaran uang (money
changer) tidak pernah dikunci saat ditinggal pemiliknya. Kota tua Fusthat
memiliki tujuh mesjid besar, Kairo memiliki delapan buah. Seluruh penduduk kota
merasakan ketenangan dan kemkmuran yang membuat al-Nashir menyatakan dengan
antusias: “Bahkan aku tidak bisa memperkirakan kekayaan kota ini, dan tidak
pernah sekalipun aku melihat satu tempat yang lebih makmur dari kota ini.”[8]
Sistem
organisasi kekhalifahan Bani Fatimiyah umumnya masih mengikuti sistem
Abbasiyah, atau lebih condong pada sistem administrasi Persia kuno. Pasukan
militer terbagi ke dalam tiga tingkatan (1) Para amir, yang terdiri atas para
perwira tertinggi dan para pengawal khalifah; (2) para perwira istana yang
terdiri atas para ahli (ustadz) dan para kasim; (3) komando-komando resimen
yang masing-masing menyandang nama berbeda seperti Hafizhiyah, Juyusyiyah,
Sudaniyah, atau yang dinamai dengan nama khalifah, wazir atau suku. Para wazir
atau menteri juga terdiri atas beberapa kelas, yang tertinggi adalah menteri
keamanan negara yang mengatur tentara dan urusan perang, kemudian menteri dalam
negeri, menteri urusan rumah tangga yang bertugas menyambut tamu-tamu
kehormatan utusan luar negeri, dan yang terakhir adalah menteri sekertaris
Negara yang terdiri dari para qadhi yang juga menjadi kepala percetakan uang,
menteri pengawasan pasar (muhtashib) yang mengawasi ukuran dan timbangan dalam
perdagangan, dan bendaharawan kerajaan yang mengepalai Bayt al-Mal. Tingkatan
pegawai yang paling rendah adalah para pegawai di departemen sekertariat Negara
yang terdiri atas para pegawai sipil, termasuk para pedagang dan sekertaris
dari berbagai departemen. Dikatakan bahwa administrasi internal kerajaan
dibentuk oleh Ya’qub ibn Killis (w. 991), seorang wazir pada kekhalifahan
al-Muizz dan al-‘Aziz. Ia adalah seorang Yahudi dari Baghdad yang masuk islam.
Ia memulai karier politiknya di istana Kafur, dan berkat kecakapannya dalam
bidang administrasi berhasil meletakkan dasar-dasar ekonomi sehingga negeri itu
mencapai kemakmuran di sepanjang lembah sungai Nil pada awal periode Fatimiyah.
F.
Perkembangan Pengetahuan, Seni, dan Asitektur
Ibn Killis adalah seorang tokoh dan pelopor
perkembangan pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Ia mendirikan
sebuah universitas dan menghabiskan ribuan dinar perbulan untuk membiayainya.
Di bawah kekuasaanya tersebutlah seorang dokter yang sangat terkenal bernama
Muhammad al-Tamim, yang lahir di Yerusalem dan pindah ke Mesir sekitar 970.
Sebelum itu, di bawah kekhalifahan Iksidiyah, muncul seorang sejarawan ternama
yakni Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi, yang meninggal di Fusthat pada 961. Sejarawan
lainnya yang meninggal di Fusthat (1062) adalah Ibn Salamah al al-Qudha’i.[9]
Meskipun
beberapa khalifah pertama Dinasti Fatimiyah dikenal sebagai khalifah berbudaya,
periode mereka bisa dibilang tidak melahirkan ilmuwan dan penulis yang kondang
dalam sains dan sastra. Seperti khalifah lainnya di Baghdad dan Kordova,
al-Aziz sendiri adalah seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan. Dialah
yang membangun Masjid Agung al-Azhar menjadi universitas. Karakter heretic
dinasti ini, keengganan penguasa istana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dan sastra ortodoks, ditambah dengan keadaan genting yang melanda masyarakat
pada periode akhir kekhalifahan ini menjadi sebab mundurnya aktivitas
intelektual pada masa fatimiyah.
Salah satu
fondasi terpenting yang dibangun pada masa Fatimiyah adalah pengembangan Dar
al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar al-Ilm (rumah ilmu) yang didirikan
oleh al-Hakim pada 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Syiah
ekstrim. Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim menyuntikkan dana besar
yang 257 dinar diantaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah,
memperbaiki buku dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini dibangun berdekatan
dengan istana kerajaan yang didalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang
pertemuan. Kurikulumnya meliputi kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, astronomi,
dan kedokteran. Meskipun pada 1119 ditutup oleh al-Malik al-Afdhal karena
dianggap menyebarkan ajaran bidah, institusi ini masih bisa bertahan sampai
kedatangan dari Bani Ayyubiyah.[10]
Secara
pribadi al-Hakim sangat tertarik pada perhitungan-perhitungan astrologi. Dia
membangun di Mukatam sebuah observatorium yang ia kunjungi, sambil
berjalan-jalan sebelum fajar menunggangi keledainya. Istana al-Hakim diterangi
kecemerlangan ‘Ali Ibn Yunus (w. 1009), sorang astronom paling hebat yang
pernah dilahirkan mesir. Juga ada Abu Ali al-Hasan (Bahasa latin, Alhazen), ibn
al-Haitsam, yang merupakan peletak dasar ilmu fisika dan optik.
Karya
penting lainnya yang dibuat di Mesir pada masa kekuasaan al-Hakim adalah
al-Muntakhab fi ‘ilaj al-“Ayn (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata) yang
ditulis oleh “Ammar ibn ‘Ali al-Maushili. Berkat kelengkapannya, kitab itu
menjadi karya standar dalam disiplin penyakit mata, optalmologi.
Pada masa
al-Mustanshir, kegagalan atau kemunduran kerajaan yang mengakibatkan
berkurangnya harta kekayaan, pada gilirannya menyebabkan kemunduran lebih besar
dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan kerajaan. Perpustakaan
itu sendiri mulai didirikan pada masa al-Aziz, dan ketika itu memiliki kurang
lebih 200.000 buku dan 2.400 eksamplar Alquran yang dihiasi ornamen-ornamen
indah. Pengganti al-Mustanshir membangun kembali sebuah perpustakaan. Ketika
satu abad kemudian Shalah al-Din menguasai kerajaan, perpustakan istana itu
masih menyimpan sekitar 100.0000 jilid buku.
Meskipun
tidak mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan sastra, periode Dinasti Fatimiyah
ditandai dengan munculnya sejumlah karya penting dalam bidang seni dan
arsitektur. Bangunan tua yang masih bertahan hingga kini adalah Masjid al-Azhar
yang didirikan oleh Jawhar pada 972. Meskipun sudah pernah dipugar, keaslian
bagian tengahnya yang merupakan pusat bangunan ini tetap dipertahankan.
Pintu-pintu
gerbang besar yang mempertontonkan kemegahan gedung-gedung periode Fatimiyah
yang masih bertahan hingga kini ada tiga buah, yaitu:’ bab zawilah, bab
al-Nashr dan bab al-Futuh. Pintu-pintu gerbang yang sangat besar di Kairo, yang
dibangun oleh arsitek-arsitek Edessa, dengan rancangan ala Bizantium termasuk
di antara sebagai jejak kerajaan Fatimiyah di Mesir yang bertahan hingga kini.
Diantara
harta kekayaan koleksi museum Arab di Kairo terdapat papan kayu berukir yang
berasal dari zaman Fatimiyah. Koleksi perunggu yang paling terkenal adalah patung
griffin, tingginya 40 inci, yang sekarang berada di pisa. Periode Fatimiyah
juga dikenal dengan keindahan produk tekstilnya.
Seni keramik
pada masa Fatimiyah mengikuti pola-pola Iran seperti halnya bidang-bidang seni
yang lain. Pola-pola ala Iran itu banyak digunakan dalam produk tekstil dengan
motif binatang.
Seni
penjilidan buku di dunia Islam yang paling pertama dikenal datang dari Mesir
sekitar abad kedelapan atau kesembilan. Teknik dan dekorasi yang mereka miliki
bersanding indah dengan daya tarik seni penjilidan Koptik yang lebih dulu
muncul, dan yang nyata-nyata menjadi patokan keahlian menjilid. Setelah mazhab
mesir dalam seni penjilidan berkembang, teknik menghiasi sampul buku dengan
alat dan stempel menjadi teknik yang banyak dipakai oleh para perajin yang
menggunakan kulit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dinasti
fatimiyah adalah satu-satunya dinasti syiah dalam Islam. Dinasti ini didirikan
di Tunisia pada 909 M. Dinasti ini didirikan oleh Sa’id ibn Husayn.
2.
Pemimpin pertama Dinasti Fatimiyah yaitu Ubaidullah Al Mahdi (909-934) dan diwarisi
oleh khalif-khalif berikutnya, yakni
selama 65 tahun lamanya sampai masa khalif Al Adhid Lidinillah (1159-1171 M).
3. Sepanjang
kekuasaan Abu manshur Nizar al Aziz (975-996), kerajaan Mesir senantiasa
diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah
pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannya dinasti
Fatimiyah mencapai puncak kejayaan.
4.
Al-Malik al-Afdhal, yang naik tahta setelah ayahnya
meninggal pada 1094, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti itu. Tahun-tahun
terakhir kekuasaan Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseturuan terus
menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing.
5.
Dari sisi politik, periode fatimiyah menandai munculnya zaman baru
dalam sejarah bangsa ini, yang untuk pertama kalinya sejak periode firaun
menjadi penguasa penuh dengan kakuatan yang besar, dan didasarkan atas prinsip
keagamaan.
6.
Ibn Killis adalah seorang tokoh dan pelopor perkembangan
pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Ia mendirikan sebuah
universitas dan menghabiskan ribuan dinar perbulan untuk membiayainya.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, apabila ada kekurangan maupun kesalahan
dalam penulisan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang mendukung senantiasa
kami harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Joesoef Sou'b. 1977. Sejarah
Daulat Abbasiah III.
Bulan Bintang:Jakarta.
Musyrifah Sunanto. 2003. Sejarah
Islam Klasik. Prenada Media:Jakarta
Timur.
Philip K. Hitti. 2005. History Of The Arabs. PT
Serambi Ilmu Semesta:Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar