Rabu, 02 Maret 2016

Dinasti Fatimiyyah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dinasti Fatimiah adalah salah satu dari Dinasti Syi’ah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Dinasti Abbasiyah. Dinasti Fatimiah didirikan oleh Sa’id bin Husain. Berakhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada pemerintahan Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Fatimiah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti ini berakhir setelah Al-Adid sebagai Khalifah terakhir, jatuh sakit. Dinasti Fatimiah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Dari Dinasti Fatimiyah ?
2.      Siapa Saja Para pemimpin Dinasti fatimiyah ?
3.      Bagaimana Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah ?
4.      Bagaimana Kemunduran Dinasti Fatimiyah ?
5.      Bagaimana Tingkat Kehidupan Masyarakat dan Sistem Administrasi Fatimiyah?
6.      Bagaimana Perkembangan Pengetahuan, Seni, dan Asitektur?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Dinasti fatimiyah
Dinasti fatimiyah adalah satu-satunya dinasti syiah dalam Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M. Dinasti ini didirikan oleh Sa’id ibn Husayn. Kemunculan Sa’id penerus ibn Maymun yang sangat mencengangkan ini merupakan puncak dari propaganda sekte Ismailiyah yang terampil dan terorganisir dengan baik. Kesuksesan mereka itu sama dengan kesuksesan gerakan pertama sekte ini, yang pernah berhasil menggoyang kekhalifahan umayyah. Keberhasilan gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari upaya personal dari (propagandis) utama sekte ini yaitu Abu Abdullah al Husayn al Syi’i. Ia adalah seorang penduduk asli shan’a Yaman, yang menjelang awal abad ke-9 memproklamirkan dirinya sebagai pelopor Mahdi dan menyebarkan hasutan di tengah suku Berber di afrika Utara, khususnya suku kitamah. [1]
Abu Abdullah, seorang penghancur gerakan ini muncul pada akhir abad IX diantara suku Barbar Kutama di Tunisia sekitar tahun 893.  Menjelang tahun 909 ia sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari ibu kota mereka dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang Ubaidillkah yang diakui sebagai pemimpin gerakan datang ke Afrika Utara bergabung dengan merkea dan menempatkannya dibekas ibukota Aghlabi. Ia diakui sebagai imam Al Mahdi pada bulan Januari 910 M dan menjabat sebagai Amir Al Mukminin.
Kedua gelar inilah yang membedakan antara kaum Fatimiyah dan dinasti lokal lainnya. Golongan Fatimiyah tidak hanya menolak kekuasaan Abbasiyah tetapi menyatakan bahwa merekalah yang sebenarnya paling berhak memerintah seluruh kerajaan Islam. Lagipula mereka mempunyai pendukung-pendukung di Syuriah, Yaman, dan bagian-bagian wilayah Abbasiyah lainnya.
Pekerjaan fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan fatimah putri Rasul dan istri dari Ali Bin Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai seorang jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan jendral Jauhar, Mesir dapat direbut. Tugas utamanya adalah :
1.    Mendirikan ibu kota baru yaitu Kairo
2.    Membina suatu universitas Islam yaitu Al Azhar
3.    Menyebarluaskan ideologi fatimiyah yaitu syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[2]

B.       Para Pemimpin Dinasti Fatimiyah
Kemelut dalam lingkungan daulat Fatimiyah (909-11171 M) di Mesir itu memuncak pada tahun 556 H/1161 M sampai kepada tumbang pada tahun 567 H/1171 M. Kemelut itu bukan mendadak muncul sekitar tahun itu, akan semenjak khalif Al Muntashir (1035-1094 M). Perikeadaan itu diwarisi oleh khalif-khalif  berikutnya, yakni selama 65 tahun lamanya sampai masa khalif Al Adhid Lidinillah (1159-1171 M). Di tangan khalif terakhir itu memuncaklah kemelut tersebut.
Berikut ini nama-nama Pemimpin Dinasti Fathimiyah :[3]
1.      Ubaidullah Al Mahdi (909-934)

2.      Al Qaim Biamrillah (934-945)

3.      Al Manshur Billah (945-952)

4.      Al Muiz Lidinillah (952-975)

5.      Al Aziz Billah (975-996)

6.      Al Hakim Biamrillah (996-1020)

7.      Al Zahir Li’zazi Dinilah (1020-1035)

8.      Al Mustanshir Billah (1035-1094)


 


    Nizzar Billah     9.  Al Musta’li Billah   (1094-110)                      Al Mustain
                                                                       
                                                     10.  Al Amir Biahkamillah (1101-1129)
                                                                                                                                                                                11.  Al Hafidz Lidinillah (1129-1148)

                                                                 12. Al Zafir Billah (1148-1153)
                                                                       
                                                                  13. Al Faiz Billah (1153-1159)
                       
                    14.  Al Adhid Lidinillah (1159-1171)

C.      Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah
Sepanjang kekuasaan Abu manshur Nizar al Aziz (975-996), kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.[4] Dibawah kekuasaannya dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaan. Nama sang khalifah selalu disebut-sebut dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari atlantik hingga laut merah juga di masjid-masjid Yaman, Mekah, Damaskus, bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung kekuasaannya meliputi wilayah yang sangat luas. Ia berhasil menempatkan kekhalifahan Fatimiyah sebagai Negara Islam terbesar dikawasan Mediterania Timur.
Bisa dikatakan bahwa diantara para khalifah fatimiyah, khalifah Al Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup dikota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru serta memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan perilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen Isa Ibn Nasthur, dan istrinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya, alhakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerusalem.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-‘Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpastian dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku Berber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan dinasti ini. Adalah para perajurit dan budak-budak yang berasal dari Sircasse dan Turki yang kemudian merebut kekuasaan puncak dari tangan keluarga Fatimiyah, kemudian mendirikan dinasti-dinasti baru.[5]

D.      Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Usaha Badr maupun anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Malik al-Afdhal, yang naik tahta setelah ayahnya meninggal pada 1094, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti itu.
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseturuan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Ketika al-Mustanshir mati, al-Malik al-Afdhal menempatkan anak khalifah paling muda sebagai khalifah dengan julukan al-Musta’ali dengan harapan bahwa ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Setelah al-Musta’ali, anaknya yang berumur lima tahun, dinyatakan sebagai khalifah oleh al-Afdhal, dan memberinya gelar kehormatan al-Amir (1101-1130). Ketika al-Hafizh (1130-1149) meninggal, kekuasaanya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan. Anak dan penggantinya, al-Zhafir (1149-1154) masih sangat muda hingga kemudian kekuasaannya direbut oleh seorang wazir dari Kurdistan ibn al-Sallar, yang menyebut dirinya sebagai al-Malik al-Adil. Catatan-catatan Usamah, yang menghasilkan waktu antara 1144 dan 1154 di istana Fatimiyah, menunjukkan bahwa tidak ada istana yang bersih dari tipu daya, permusuhan dan kecemburuan.[6]
Pembunuhan Ibn al-Sallar (1153) oleh istri cucunya Nashr ibn ‘Abbas, yang kemudian disebut oleh khalifah untuk menghabisi nyawa ayahnya, Ibn ‘Abbas, pengganti Ibn al-Sallar sebagai wazir, juga pembunuhan misterius al-Zafir sendiri oleh suatu persekongkolan, menorehkan satu bagian paling gelap dalam sejarah Mesir. Hari kedua setelah meninggalnya khalifah, Abbas mengumumkan anak al-Zafir yag berusia empat tahun, yakni al-Fa’iz sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah kecil ini meninggal pada usia sebelas tahun, dan digantikan oleh sepupunya, al-Adhid yang berumur Sembilan tahun. Ia menjadi khalifah yang keempat belas dan yang terakhir dalam garis dinasti Fatimiyah yang berkuasa selama lebih dari dua abad setengah. Kehidupan masyarakat yang sangat sulit, yang menjadikan aliran sungai Nil sebagai sumber penghidupan mereka, semakin parah dengan bencana kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi. Akibatnya adalah pajak yang tinggi dan pemerasan yang umum terjadi untuk memuaskan kebutuhan khalifah dan angkatan bersenjata yang rakus. Keadaan semakin parah dan rumit dengan datangnya pasukan Perang Salib dan serangan balasan dari Almaric, Raja Yerusalem, yang pada 1167 telah berdiri di pintu gerbang Kairo. Keadaan menyedihkan itu diakhiri oleh Shalah al-Din yang pada 1171 menurunkan khalifah Fatimiyah yang terakhir dari tahtannya

E.     Tingkat Kehidupan Masyarakat dan Sistem Administrasi Fatimiyah
Mesir merupakan satu-satunya negara yang paling lama merasakan kekuasaan Fatimiyah. Di tanah itulah para penerus Ubaydullah al-Mahdi menanamkan karakteristik khas budaya mereka yang sangat berpengaruh. [7]
Dari sisi politik, periode fatimiyah menandai munculnya zaman baru dalam sejarah bangsa ini, yang untuk pertama kalinya sejak periode firaun menjadi penguasa penuh dengan kakuatan yang besar, dan didasarkan atas prinsip keagamaan.
Meskipun masa keemasan dalam sejarah Fatimiyah di Mesir dimulai pada periode al-Mu’izz dan memuncak pada masa al ‘Aziz, pada periode kekuasaan al-Muntashir, Mesir masih diakui sebagai negara Islam yang paling maju. Seorang Persia yang menjadi propagandis sekte Ismailiyah, Nashir I Khusraw, yang mengunjungi negara ini pada 1046-1049, beberapa saat sebelum terjadi kehancuran ekonomi politik, meninggalkan untuk kita sebuah catatan tentang kecemerlangan Mesir ketika itu. Ia mengatakan bahwa istana khalifah mempekerjakan 30.000 orang, 12.000 orang di antaranya adalah pelayan dan 1.000 orang pengurus kuda. Khalifah muda, yang dilihat oleh al-Nashir dalam sebuah perayaan menunggangi keledai, terlihat sangat mempesona. Menggunakan pakaian sederhana berupa qufthan, dan sorban berwarna putih. Seorang pelayan membawa payung yang dihiasi batu-batu mulia menaungi kepala khalifah. Tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan 60 tiang pancang, berlabuh ditepi sungai Nil. Khalifah al-Nashir memiliki 20.000 rumah di ibu kota, hampir semuanya dibangun dengan batu bata, dengan ketinggian hingga lima atau enam lantai. Ia juga memiliki ribuan toko yang masing-masing bisa menghasilkan dua hingga sepuluh dinar perbulan. Jalan-jalan utama diberi atap dan diterangi lampu. Para penjaga toko menjual denga harga yang telah ditetapkan. Jika ada seorang pedagang yang curang, ia akan dipertontonkan di atas sepanjang jalan kota sambil membunyikan lonceng dan mengakui kesalahannya. Saking amannya, bahkan toko perhiasan atau tempat penukaran uang (money changer) tidak pernah dikunci saat ditinggal pemiliknya. Kota tua Fusthat memiliki tujuh mesjid besar, Kairo memiliki delapan buah. Seluruh penduduk kota merasakan ketenangan dan kemkmuran yang membuat al-Nashir menyatakan dengan antusias: “Bahkan aku tidak bisa memperkirakan kekayaan kota ini, dan tidak pernah sekalipun aku melihat satu tempat yang lebih makmur dari kota ini.”[8]
Sistem organisasi kekhalifahan Bani Fatimiyah umumnya masih mengikuti sistem Abbasiyah, atau lebih condong pada sistem administrasi Persia kuno. Pasukan militer terbagi ke dalam tiga tingkatan (1) Para amir, yang terdiri atas para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah; (2) para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadz) dan para kasim; (3) komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda seperti Hafizhiyah, Juyusyiyah, Sudaniyah, atau yang dinamai dengan nama khalifah, wazir atau suku. Para wazir atau menteri juga terdiri atas beberapa kelas, yang tertinggi adalah menteri keamanan negara yang mengatur tentara dan urusan perang, kemudian menteri dalam negeri, menteri urusan rumah tangga yang bertugas menyambut tamu-tamu kehormatan utusan luar negeri, dan yang terakhir adalah menteri sekertaris Negara yang terdiri dari para qadhi yang juga menjadi kepala percetakan uang, menteri pengawasan pasar (muhtashib) yang mengawasi ukuran dan timbangan dalam perdagangan, dan bendaharawan kerajaan yang mengepalai Bayt al-Mal. Tingkatan pegawai yang paling rendah adalah para pegawai di departemen sekertariat Negara yang terdiri atas para pegawai sipil, termasuk para pedagang dan sekertaris dari berbagai departemen. Dikatakan bahwa administrasi internal kerajaan dibentuk oleh Ya’qub ibn Killis (w. 991), seorang wazir pada kekhalifahan al-Muizz dan al-‘Aziz. Ia adalah seorang Yahudi dari Baghdad yang masuk islam. Ia memulai karier politiknya di istana Kafur, dan berkat kecakapannya dalam bidang administrasi berhasil meletakkan dasar-dasar ekonomi sehingga negeri itu mencapai kemakmuran di sepanjang lembah sungai Nil pada awal periode Fatimiyah.

F.     Perkembangan Pengetahuan, Seni, dan Asitektur
Ibn Killis adalah seorang tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Ia mendirikan sebuah universitas dan menghabiskan ribuan dinar perbulan untuk membiayainya. Di bawah kekuasaanya tersebutlah seorang dokter yang sangat terkenal bernama Muhammad al-Tamim, yang lahir di Yerusalem dan pindah ke Mesir sekitar 970. Sebelum itu, di bawah kekhalifahan Iksidiyah, muncul seorang sejarawan ternama yakni Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi, yang meninggal di Fusthat pada 961. Sejarawan lainnya yang meninggal di Fusthat (1062) adalah Ibn Salamah al al-Qudha’i.[9]
Meskipun beberapa khalifah pertama Dinasti Fatimiyah dikenal sebagai khalifah berbudaya, periode mereka bisa dibilang tidak melahirkan ilmuwan dan penulis yang kondang dalam sains dan sastra. Seperti khalifah lainnya di Baghdad dan Kordova, al-Aziz sendiri adalah seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan. Dialah yang membangun Masjid Agung al-Azhar menjadi universitas. Karakter heretic dinasti ini, keengganan penguasa istana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan sastra ortodoks, ditambah dengan keadaan genting yang melanda masyarakat pada periode akhir kekhalifahan ini menjadi sebab mundurnya aktivitas intelektual pada masa fatimiyah.
Salah satu fondasi terpenting yang dibangun pada masa Fatimiyah adalah pengembangan Dar al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar al-Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim pada 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Syiah ekstrim. Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim menyuntikkan dana besar yang 257 dinar diantaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini dibangun berdekatan dengan istana kerajaan yang didalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Kurikulumnya meliputi kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran. Meskipun pada 1119 ditutup oleh al-Malik al-Afdhal karena dianggap menyebarkan ajaran bidah, institusi ini masih bisa bertahan sampai kedatangan dari Bani Ayyubiyah.[10]
Secara pribadi al-Hakim sangat tertarik pada perhitungan-perhitungan astrologi. Dia membangun di Mukatam sebuah observatorium yang ia kunjungi, sambil berjalan-jalan sebelum fajar menunggangi keledainya. Istana al-Hakim diterangi kecemerlangan ‘Ali Ibn Yunus (w. 1009), sorang astronom paling hebat yang pernah dilahirkan mesir. Juga ada Abu Ali al-Hasan (Bahasa latin, Alhazen), ibn al-Haitsam, yang merupakan peletak dasar ilmu fisika dan optik.
Karya penting lainnya yang dibuat di Mesir pada masa kekuasaan al-Hakim adalah al-Muntakhab fi ‘ilaj al-“Ayn (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata) yang ditulis oleh “Ammar ibn ‘Ali al-Maushili. Berkat kelengkapannya, kitab itu menjadi karya standar dalam disiplin penyakit mata, optalmologi.
Pada masa al-Mustanshir, kegagalan atau kemunduran kerajaan yang mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan, pada gilirannya menyebabkan kemunduran lebih besar dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan kerajaan. Perpustakaan itu sendiri mulai didirikan pada masa al-Aziz, dan ketika itu memiliki kurang lebih 200.000 buku dan 2.400 eksamplar Alquran yang dihiasi ornamen-ornamen indah. Pengganti al-Mustanshir membangun kembali sebuah perpustakaan. Ketika satu abad kemudian Shalah al-Din menguasai kerajaan, perpustakan istana itu masih menyimpan sekitar 100.0000 jilid buku.
Meskipun tidak mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan sastra, periode Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya sejumlah karya penting dalam bidang seni dan arsitektur. Bangunan tua yang masih bertahan hingga kini adalah Masjid al-Azhar yang didirikan oleh Jawhar pada 972. Meskipun sudah pernah dipugar, keaslian bagian tengahnya yang merupakan pusat bangunan ini tetap dipertahankan.
Pintu-pintu gerbang besar yang mempertontonkan kemegahan gedung-gedung periode Fatimiyah yang masih bertahan hingga kini ada tiga buah, yaitu:’ bab zawilah, bab al-Nashr dan bab al-Futuh. Pintu-pintu gerbang yang sangat besar di Kairo, yang dibangun oleh arsitek-arsitek Edessa, dengan rancangan ala Bizantium termasuk di antara sebagai jejak kerajaan Fatimiyah di Mesir yang bertahan hingga kini.
Diantara harta kekayaan koleksi museum Arab di Kairo terdapat papan kayu berukir yang berasal dari zaman Fatimiyah. Koleksi perunggu yang paling terkenal adalah patung griffin, tingginya 40 inci, yang sekarang berada di pisa. Periode Fatimiyah juga dikenal dengan keindahan produk tekstilnya.
Seni keramik pada masa Fatimiyah mengikuti pola-pola Iran seperti halnya bidang-bidang seni yang lain. Pola-pola ala Iran itu banyak digunakan dalam produk tekstil dengan motif binatang.
Seni penjilidan buku di dunia Islam yang paling pertama dikenal datang dari Mesir sekitar abad kedelapan atau kesembilan. Teknik dan dekorasi yang mereka miliki bersanding indah dengan daya tarik seni penjilidan Koptik yang lebih dulu muncul, dan yang nyata-nyata menjadi patokan keahlian menjilid. Setelah mazhab mesir dalam seni penjilidan berkembang, teknik menghiasi sampul buku dengan alat dan stempel menjadi teknik yang banyak dipakai oleh para perajin yang menggunakan kulit.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Dinasti fatimiyah adalah satu-satunya dinasti syiah dalam Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M. Dinasti ini didirikan oleh Sa’id ibn Husayn.
2.      Pemimpin pertama Dinasti Fatimiyah yaitu Ubaidullah Al Mahdi (909-934) dan diwarisi oleh khalif-khalif  berikutnya, yakni selama 65 tahun lamanya sampai masa khalif Al Adhid Lidinillah (1159-1171 M).
3.      Sepanjang kekuasaan Abu manshur Nizar al Aziz (975-996), kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Dibawah kekuasaannya dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaan.
4.      Al-Malik al-Afdhal, yang naik tahta setelah ayahnya meninggal pada 1094, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti itu. Tahun-tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseturuan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing.
5.      Dari sisi politik, periode fatimiyah menandai munculnya zaman baru dalam sejarah bangsa ini, yang untuk pertama kalinya sejak periode firaun menjadi penguasa penuh dengan kakuatan yang besar, dan didasarkan atas prinsip keagamaan.
6.      Ibn Killis adalah seorang tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Ia mendirikan sebuah universitas dan menghabiskan ribuan dinar perbulan untuk membiayainya.
B.     Saran
Demikian makalah yang kami buat, apabila ada kekurangan maupun kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang mendukung senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Joesoef Sou'b. 1977. Sejarah Daulat Abbasiah III. Bulan Bintang:Jakarta.
Musyrifah Sunanto. 2003. Sejarah Islam Klasik. Prenada Media:Jakarta Timur.
Philip K. Hitti. 2005. History Of The Arabs. PT Serambi Ilmu Semesta:Jakarta.
















[1] Philip K. Hitti,  History Of The Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005, hlm., 787
[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Prenada Media, Jakarta Timur, 2003, hlm., 145-147

[3] Joesoef Sou'b, Sejarah Daulat Abbasiah III, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm., 189


[4] Philip K. Hitti, Op. Cit, hlm., 791
[5] Ibid, hlm., 792
[6] Philip K. Hitti, Loc. Cit
[7] Ibid, hlm., 800
[8] Ibid, hlm., 799
[9] Ibid, hlm., 801
[10] Philip K. Hitti, Loc. Cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puncak Natas Angin; Puncak dengan Jalur yang istimewa

Setelah beberapa lama merindukan angin malam diatas ketinggian, kali ini aku punya kesempatan untuk menakhlukan Puncak Natas angin bersama ...