Selasa, 23 September 2014

KONSEP AKAD

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk melakukan kontrak atau berakad.
Hubungan ini merupakan fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masalah. Begitupun dalam menjalankan bisnis satu hal yag sangat penting adalah masalah akad atau perjanjian.
Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syari’at islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhoi Allah dan harus ditegakkan isinya. Maka dari itu kelompok kami akan memaparkan konsep akad lebih lanjut.

B.     Rumusan Masalah

Adapun yang akan kami paparkan dalam makalah ini sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud Akad dalam Fiqih Muamalah itu?
2.      Apasajakah Rukun dan Syarat dalam akad itu?
3.      Apasajakah macam-macam akad itu?
4.      Apasajakah asas-asas akad itu?
5.      Bagaimana pengaruh dan penghalang akad dalam fiqih muamalah itu?

BAB II
PEMBAHASAN


1.      Pengertian Akad
Secara lughawi, makna al-aqd adalah perikatan, perjanjian, pertalian, permufakatan (al-ittifaq).
Secara Istilah, akad didefinisikan dengan redaksi yang berbeda-beda. Berbagai definisi tersebut dapat dimengerti bahwa, akad adalah pertalian ijab dan kabul dari pihak-pihak yang menyatakan kehendak, sesuai dengan kehendak syariat, yang akan memiliki akibat hukum terhadap obyeknya.[1]
Definisi tersebut mengisaratkan bahwa, pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berpengaruh terhadap munculnya akibat hukum baru. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dari kedua belah pihak. Ketiga, dilihat dari tujuan dilaksanakannya akad, ia bertujuan untuk melahirkan akibat hukum baru. Persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang sedang menjalin ikatan.
Akad bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam istilah fiqih secara  umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan bik yang muncul dari satu pihak ataupun dua pihak.

2.      Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun menjadikan tidak adanya akad. Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari:
a.       Al-Aqidain (pihak-pihak yang berakad)
b.      Obyek akad
c.       Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri)
d.      Tujuan akad[2]
Berbeda dengan Jumhur Ulama’, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya satu sighatu al-‘aqd. Bagi Madzhab Hanafi, yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad.
Beberapa unsur dalam akad yang kemudian dikenal sebagai rukun tersebut masing-masing membutuhkan syarat agar akad dapat terbentuk dan mengikat antar pihak. Beberapa syarat tersebut meliputi:
a.       Syarat terbentuknya akad; dalam hukum islam syarat ini dikenal dengan nama al-syuruth al-in’iqad. Syarat ini terkait dengan sesuatu yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun akad, ialah :
a)      Pihak yang berakad (aqadain), disyaratkan tamyiz dan berbilang.
b)      Shighat akad (Pernyataan kehendak), adanya kesesuaian ijab dan kabul (munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majlis akad.
c)      Obyek akad, dapat diserahkan, dapat ditentukan dan dapat ditransak-sikan (benda yang bernilai dan dimiliki).
d)     Tujuan akad tidak bertentanan dengan syara’.
b.      Syarat Keabsahan akad, adalah syarat tambahan yang dapat mengabsahkan akad setelah syarat in’iqad tersebut dipenuhi. Setelah rukun akad terpenuhi beserta beberapa persyaratannya yang menjadikan akad terbentuk, maka akad sudah terwujud. Akan tetapi ia belum dipandang syah jika tidak memenuhi syarat-syarat tambahan yang terkait dengan rukun-rukun akad, yaitu:
a)      Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara bebas. Jika pernyataan kehendak tersebut dilakukan dengan terpaksa, maka akad dianggap fasid.
b)      Penyerahan obyek tidak menimbulkan madlarat.
c)      Bebas dari gharar, adalah tidak adanya tipuan yang dilakukan oleh para pihak yang berakad.
d)     Bebas dari riba
Empat syarat keabsahan tersebut akan menentukan syah tidaknya sebuah akad. Apabila sebuah akad tidak memenuhi empat syarat tersebut, meskipun rukun dan syarat in’iqad sudah terpenuhi, akad tidak syah dan disebut akad sebagai akad fasid. Menurut ahli hukum Hanafi, akad fasid adalah akad yang menurut syara’ syah pokoknya, tetapi tidak syah sifatnya. Maksudnya adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, tetapi belum memenuhi syarat keabsahannya.
c.       Syarat-syarat berlakunya akibat hukum (al-Syuruth an-Nafadz); adalah syarat yang diperlukan bagi akad agar akad tersebut dapat dilaksanakan akibat hukumnya. Syarat-syarat tersebut adalah:
a)      Adanya kewenangan sempurna atas obyek akad
b)      Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan
d.      Syarat mengikat (al-Syarth al-luzum); sebuah akad yang sudah memenuhi rukun-rukunnya dan beberapa macam syarat sebagaimana yang dijelaskan di atas, belum tentu membuat akad tersebut dapat mengikat pihak-pihak yang telah melakukan akad. Ada persyaratan lagi yang menjadikannya mengikat, diantaranya :
a)      Terbebas dari sifat akad yang sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak (meskipun mengikat bagi salah satu pihak), seperti akad kafalah (penanggungan).
b)      Terbebas dari khiyar; akad yang masih tergantung dengan hak khiyar baru mengikat tatkala hak khiyar berakhir.
Segala rupa tasharruf (perbuatan hukum) termasuk akad mempunyai dua keadaan yang umum. Pertama, akad itu diucapkan seseorang, tanpa memberi ketentuan (batasan) dengan suatu kaidah dan tanpa menetapkan suatu syarat. Akad yang semacam ini dinamakan aqad munajjaz.
Kedua, akad itu diucapkan seseorang dengan dikaitkan dengan sesuatu, dalam arti apabila kaitan itu tidak ada, maka akadpun tidak jadi. Akad munajjaz ada tiga macam:[3]
1)      Ta’liq syarat
2)      Taqyid syarat
3)      Syarat idlafah

3.      Macam-macam  dan sifat akad
Dalam konsep akad terdapat macam-macam akad sebagai berikut:
a.       ‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad yang diberikan namaya oleh syara’ dan ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu.
b.      ‘uqud ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan namanya secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh syara’ sendiri.[4]
‘Uqudun musammatun ada dua puluh lima macam
  Bai’                             7)    Aqad syirkah                   13)  Aqdul Muqalah
 2)      Ijarah                           8)    Mudlarabah                      14)  Aqad al-Iqalah
3)      Kafalah                      9)    Muzara’ah                        15)  Zawaj atau nikah
4)      Hawalah                      10)  Musaqah                          16)  Aqad Washiyat
5)      Rahn                            11)  Wakalh                             17)  Aqdul isha’ atau washaya
6)      Bai’ul Wafa’               12)  Shulh
18)  Al ‘Ida                                    22)  Tahkim
19)  Al I’arah                      23)   Mukharajah atau takhruj
20)  Hibah                          24)  Qardlu
21)  Aqdul qismati             25)  Aqad Al’Umri

4.      Asas-asas akad dalam Fiqh Muamalah
Dalam pandangan fiqih muamalah, akad yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berakad mempunyai asas tertentu dan merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi landasan, bilamana sebuah akad dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengannya. Asas tersebut adalah:
1)      Asas ibadah; asas ini merupakan asas umum dalam hukum islam.
2)      Asas kebebasan (mabda’ hurriyatu al-aqd); asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan untuk melakukan akad, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum.
3)      Asas konsensualisme (mabda’ al-radla’iyah); asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.
4)      Asas “Janji itu mengikat”; artinya bahwa janji atau kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak dipandang mengikat terhadap pihak-pihak yang telah membutuhkannya.
5)      Asas keseimbangan; Hukum perjanjian islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang yang berakad, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko.
6)      Asas kemaslahatan; bahwa akad yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh mendatangkan kerugian dan keadaan yang memberatkan.
7)      Asas amanah; dengan asas ini dimaksudkan bahwa masing-masing pihak yang melakukan akad haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi ketidak tahuan mitranya.
8)      Asas keadilan; keadilan adalah sebuah sendi yang hendak diwujudkan oleh para pihak yang melakukan akad.[5]

5.      Pengaruh dan Penghalang Akad
a.       Pengaruh akad
Pengaruh-pengaruh yang umum yang berlaku pada semua akad ada dua. Pertama, nafadz (langsung terlaksana), kedua, ilzam. Yang dimaksudkan dengan nafdzul ‘uqud, ialah: “akad yang kita lakukan itu langsung menghasilkan sejak mulai akad. Nafadzul aqdil bai’i, ialah akad itu memindahkan barang yang dijual dari si penjual kepada si pembeli.[6]
b.      Mani’ nufudz (Penghalang Akad)
Mani nufudz banyak macamnya. Namun demikian dapat kita kembalikan kepada dua macam saja, yaitu: ikrah (paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain).
Pertama, haqqul ghair, akad yang berpautan dengan benda. Kedua, berpautan dengan maliyah, benda obyek akad; bukan dengan benda (‘ain)nya, hanya dengan maliyahnya, dengan hartanya. Ketiga, berpautan dengan dapat tidaknya tasharruf itu sendiri, bukan dengan benda.[7

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, akad merupakan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam istilah fiqih secara  umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan bik yang muncul dari satu pihak ataupun dua pihak. Dan dalam konsep akad terdapat rukun dan syarat yang harus ditaati bagi orang yang berakad, selain itu rukun dan syarat tersebut harus dijalankan sesuai syari’at islam.
Dalam konsep akad tebagi menjadi dua macam yaitu; ‘Uqudun musammatun, ‘Uqud ghairu musammah dimana pada akad ‘Uqudun musammatun terbagi menjadi duapuluh lima macam. Dalam pandangan fiqih muamalah, akad yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berakad mempunyai asas tertentu dan merupakan prinsip yang ada dalam akad serta menjadi landasan. Ketika seseorang berakad mereka harus memahami pengaruh dan penghalang dalam proses akad tersebut.

B.     Penutup
Demikian makalah ini kami buat. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pembahasan makalah ini kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk lebih baiknya makalah yang kami buat selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.



[1] Yazid afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:logung Pustaka,2009), hlm. 33.
[2] Ibid, hlm.34.
[3] Ibid, hlm.35-36.
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh muamalah, (Semarang:Pustaka rizki Putra,2009), hlm. 82-94.
[5] Yazid Afandi, op.,cit, hlm. 46-49.
[6] Teungku Muhammad, op.,cit, hal.44.
[7] Ibid, hal. 47-48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puncak Natas Angin; Puncak dengan Jalur yang istimewa

Setelah beberapa lama merindukan angin malam diatas ketinggian, kali ini aku punya kesempatan untuk menakhlukan Puncak Natas angin bersama ...