Senin, 12 Januari 2015

LAFAL DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA : LAFAL AMAR DAN NAHI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum Islam atau ilmu fiqih. Pembahasaan dari segi bahasa sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Adapun objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqih juga Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fiqih.
Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantara yang sangat penting dan akan dikemukakan disini antara lain tentang Amar dan Nahi.
Kita harus memahami bahwa amar adalah lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan. Sedangkan nahi adalah mengajak untuk meninggalkan pekerjaan dengan perkataan dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya. Dalam makalah ini kami akan sedikit menjelaskan tentang lafal amar dan lafal nahi.

B.     Rumusan Masalah
Dari makalah yang kami buat ini, yang dapat kami paparkan adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang disebut dengan amar?
2.      Apa yang disebut dengan nahi?









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Amar
1.      Pengertian Amar
Amar ialah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari lafadz amar (perintah) ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan dari pada tidak mengerjakan. Karena itu apabila Allah memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan artinya menunjukkan kepada kewajiban memenuhi perintahNya. Kalau ia sudah mukallaf (mendapat beban hukum) mendapat pahala bila ia telah mengerjakan dan mendapat siksa bila ia meninggalkan (tidak mengerjakan).[1]
Arti Amar
a.       Menujukkan wajib
اَلْأَصْلُ فِى الْأَمْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:
“Arti yang pokok dalam amar, ialah menunjukkan wajib” (wajibnya perbuatan yang diperintahkan).
b.      Menunjukkan anjuran
اَلْأَصْلُ فِى الْأَمْرِ لِلنَّدْبِ
Artinya:
 “Arti yang pokok dalam suruhan ialah menunjukkan anjuran” (nadb).
Alasannya adalah suruhan itu adakalanya untuk keharusan (wajib), seperti shalat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti shalat duha.
2.      Sighat Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:
a.         Berbentuk fiil amar atau perintah langsung
Misalnya, firman Allah:
أَقِيْمُوالصَّلوةَ – البقرة :34
Artinya:
“Dirikanlah shalat.” (Q.S Al-Baqarah : 43)
b.      Berbentuk mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
وَلْيَطَّوَّفُوْابِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ – الحج : 29
Artinya:
“…dan hendaklah melakukan thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah).” (Q.S Al-Haj : 29)
c.       Dan bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradha, kutiba, dan sebagainya.
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.
Imam Ar-Razi berkata didalam kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah sepakat menetapkan bahwa bentuk if’al (fiil amar) dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, lihat contoh dibawah ini.[2]
1.      Ijab (Wajib)
Contoh firman Allah:
أَقِيْمُوالصَّلوةَ – البقرة :34
Artinya:
”Dirikanlah Shalat.” (Q.S Al-Baqarah : 43)
2.      Nadab (Anjuran)
Contoh firman Allah:
فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا – النور : 33
Artinya:
”Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (Q.S An-Nur : 33)

3.      Takdib (Adab)
Contoh hadits Rasul:
كُلْ مِمَّايَلِيْكَ – رواه البخارى و مسلم
Artinya:”Makanlah apa yang ada didepanmu”
4.      Irsyad (Menunjuki)
Contoh firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوْاشَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ – البقرة : 282
Artinya:
”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki (diantaramu).” (Q.S Al-Baqarah : 282)
5.      Ibahah (kebolehan)
Contoh firman Allah:
وَكُلُوْاوَاشْرَبُوْاحَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِمِنَ الْفَجْرِ – البقرة : 187
Artinya:
”Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. ” (Q.S Al-Baqarah : 187)[3]
6.      Tahdid (Ancaman)
Contoh firman Allah:
...اِعْمَلُوْامَاشِئْتُمْ اِنَّهُ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ – فصلت : 40
Artinya:
“… Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Fushilat : 40)
7.      Inzhar (Peringatan)
Contoh firman Allah:
قُلْ تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ مَصِيْرَكُمْ إِلَى النَّارِ- ابراهيم : 30
Artinya:
”katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka”. (Q.S Ibrahim : 30)
8.      Ikram (Memuliakan)
Contoh firman Allah:
اُدْخُلُوْ هَابِسَلَامٍ اَمِنِيْنَ – الحجر : 46
Artinya:
”(Dikatakan kepada mereka) : masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman.” (Q.S Al-Hijr : 46)
9.      Taskhir (Penghinaan)
Contoh firman Allah:
...كُوْنُوْاقِرَدَةًخَسِئِيْنَ – البقرة : 65
Artinya:
”…Jadilah kamu sekalian kera yang hina.” (Q.S Al-Baqarah : 65)
10.  Ta’jiz (Melemahkan)
Contoh firman Allah:
فَأْتُوْابِسُوْرَةٍمِنْ مِثْلِهِ – البقرة : 23
Artinya:
”Datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama Al-Qur’an itu.” (Q.S Al-Baqarah : 23)
11.  Taswiyah (Mempersamakan)
Contoh firman Allah:
فَاصْبِرُوْاأَوْلَاتَصْبِرُوْا – الطور : 16
Artinya:
” …maka bersabar atau tidak...” (Q.S At-Thur : 16)[4]
12.  Tamanni (Angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
يَالَيْلُ طُلْ يَانَوْمُ زُلْ * يَاصُبْحُ قِفْ لَاتَطْلُعْ – ام قيس
Artinya:
Wahai sang malam! Memanjanglah
Wahai kantuk! Menghilanglah
Wahai waktu subuh! Berhentilah dahulu
Jangan segera datang (Syi’ir Ummul qais)
13.  Doa (Berdo’a)
Contoh firman Allah:
رَبِّ اغْفِرْ لِى – ص : 35
Artinya:
”Ya Allah ampunilah aku.” (Q.S Shad : 35)
14.  Ihanah (Meremehkan)
Contoh firman Allah:
دُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ – الدخان : 49
Artinya:
”Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.” (Q.S Ad-Dukhan : 49)
15.  Imtinan
Contoh firman Allah:
فَكُلُوْامِمَّارَزَقَكُمُ اللهُ – النحل : 114
Artinya:
”Makanlah apa yang direzekikan Allah kepadamu.” (Q.S An-Nahl : 114)
3.      Dilalah dan Tuntutan Amar
a.       Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al-Bardisy bahwa:
ذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ اِلَى أَنَّ الْأَمْرَيَدُلُّ عَلَى طَلَبِ الْمَأْمُوْرِبِهِ عَلَى سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ وَلَايُصْرَفُ
عَنْ اِفَادَةِ الْوُجُوْبِ اِلَى غَيْرِهِ اِلَّا اِذَا وُجِدَتْ قَرِيْنَةٌ تَدُ لُّ عَلَى ذَلِكَ.
Artinya:
”Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut.”
Juga berdasarkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَ مْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:”Arti yang pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya)  
   perbuatan yang diperintahkannya.”
Contoh firman Allah:
مَامَنَعَكَ اَنْ تَسْجُدَاِذْاَمَرْتُكَ – الأعراف : 12
Artinya:
”Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?” (Q.S Al-A’raf : 12)
Contoh lain firman Allah:
اُسْجُدُوْالِاَدَمَ فَسَجَدُوآاِلَّااِبْلِيْسَ – البقرة :34
Artinya:
”Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis.” (Q.S Al-Baqarah : 34)
Ayat pertama bukan ditujukan untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap Iblis karena enggan bersujud kepada Adam tanpa alasan, ketika Iblis diperintah sujud.[5]
Bentuk perintah amar dalam ayat kedua, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian/keharusan. Kalau tidak demikian, Allah tidak mencela Iblis karena kedurhakaannya itu.
Contoh lain hadits Rasul:
لَوْلَاأَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَكُلِّ صَلَاةٍ - الحديث
Artinya:
”Seandainya tidak akan memberatkan bagi umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada tiap-tiap hendak shalat.” (Al-Hadits)
Hadits tersebut di atas mengandung pengertian bahwa karena adanya masyaqah (kesulitan), maka tidak wajib bersiwak. Padahal ulama telah menyepakati bersama bahwa siwak disunahkan (nadab), namun nadab di sini bukanlah yang pokok, tetapi hanyalah karena adanya qarinah, yaitu masyaqah/kesulitan.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan suatu hal yang lain menunjukkan arti kemestian (wajib).
b.      Menunjukkan anjuran (nadab) berdasarkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَمْرِ لِلنَّدْبِ
Artinya:
”Arti yang pokok dalam amar atau suruhan itu ialah menunjukkan anjuran (nadab).”
Suruhan itu memang ada kalanya untuk suruhan (wajib), seperti sholat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadab) seperti sholat dhuha. Diantara kemestian dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran.
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlak lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.

B.     Nahi
1.      Pengertian Nahi
Dari segi bahasa Nahi artinya: “larangan” (man’un). Akal juga disebut nuhyah, karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Nahi menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.
Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.[6]
            Arti Nahi
a.       Menunjukkan haram
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang).”
Alasannya:
Apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharuskan yang diminta larangan itu. Apa yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf, apabila ada larangan yang tidak disertai qarinah.
Qarinah ialah kata-kata yang menyertai kata-kata larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menunjukkan haram.
b.      Menunjukkan makruh
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلْكَرَاهَةِ
Artinya:
“Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya:
Larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram. Lagi pula larangan itu adakalanya menunjukkan haram, adakalanya menunjukkan karahah. Antara keduanya yang paling diyakini ialah karahah. Sebab pada mulanya semua perbuatan boleh diperbuat. Yang lebih kuat ialah pendapat 1.
2.      Sighat Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Jika kalimat itu mempunyai qarinah, tidak menunjukkan hakikat larangan, seperti firman Allah SWT:
يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَاتَقْرَبُوْا الصَّلَوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى – النساء : 43
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk.” (QS An-Nisa:43)[7]
Sighat nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

a.      Untuk doa:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِدْنَااِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْنَا
Artinya:
”Hai Tuhan kami janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah.”
b.      Untuk pelajaran:
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya:
”Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.”
c.       Putus asa:
لَاتَعْدِرُوْا الْيَوْمَ
Artinya:
”Janganlah kamu cari-cari alasan hari ini.”
d.      Untuk menyenangkan (menghibur):
وَلَاتَحْزَنْ اِنَّ اللهَ مَعَنَا
Artinya:
”Jangan kamu gentar bahwa sesungguhnya Allah bersama kita.”
e.       Untuk menghardik, seperti perkataan majikan kepada budaknya:
“Jangan engkau lakukan perbuatan itu.”
Adapun Nahi itu sendiri terbagi dalam:[8]
a)      Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri, sebagaimana contoh diatas yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak).
b)      Nahi yang menunjukkan juz’i dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
c)      Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tak dapat dipisahkan, misalnya larangan berpuasa pada hari raya , karena hikmah dari hari raya itu ialah agar tiap orang dapat menikmati kegembiraan makan minum dihari tersebut.
d)     Nahi yang menunjukkan hal-hal diluar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan perbuatan itu. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu dalam shalat jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.
3.      Dilalah dan Tuntutan  Nahi
a.      Perintah sesudah larangan
Setelah memperhatikan segala perintah syara’ yang datang sesudah larangan, ternyata bahwa perintah sesudah larangan itu menunjukkan boleh (mubah), terkecuali jika ada nash yang menegaskan kefarduannya.
b.      Suruhan tidak menghendaki berulang kali dikerjakan
Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya orang yang disuruh itu berulang-ulang mengerjakannya dan tidak pula menunjukkan kepadanya agar satu kali saja mengerjakannya. Perintah itu hanya memberi pengertian bahwa perbuatan tersebut harus kita kerjakan. Oleh karena itu, cukuplah kita menunaikan perintah tersebut dengan ssekali mengerjakan saja.
c.       Suruhan tidak menghendaki segera dikerjakan
Suruhan yang di-qaid-kan dengan waktu akan gugur bila gugur waktunya karena harus dikerjakan dalam waktunya, sebagaimana yang dijelaskan dalam bab hukum.
Jika tidak terpaut dengan waktu, seperti kaffarah dan mengqada puasa yang ditinggalkan, maka para ahli usul berselisih paham.
Ada yang menyuruh untuk menyegerakan pelaksanaannya ada pula yang tidak menurut pentahqiqan yang benar dari paham-paham ini ialah boleh menakhirkannya asal saja tidak meninggalkannya. Namun, sangat disukai bila dilakukan dengan segera. Hal ini bila kita hanya melihat zat suruhan. Akan tetapi, banyak keterangan agama yang menyuruh kita segera melaksanakan perintah, diantaranya:[9]
وَسَارِعُوْا اِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ – ال عمران : 133
Artinya:
”Dan cepat-cepatlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surgaNya.” (Q.S Ali Imran : 133)

Dan Allah SWT berfirman pula :
فَاسْتَبِقُوْا الخَيْرَاتِ – البقرة : 148
Artinya:
”Maka berlomba-lombalah kepada kebaikan.” (Q.S Al-Baqarah : 148)
Ayat ini memberi pengertian bahwa kita diperintahkan menyegerakan penyelesaian tugas.oleh karena itu, dapatlah kita katakan bahwa golongan yang membolehkan kita menunda (memperlambat) itu melihat pada pengertian yang diperoleh dari suruhan saja.[10]























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Amar ialah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari lafadz amar (perintah) ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan dari pada tidak mengerjakan.
2.      Dari segi bahasa Nahi artinya: “larangan” (man’un). Akal juga disebut nuhyah, karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah. Nahi menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
            Arti Nahi
a.       Menunjukkan haram
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang).”
b.      Menunjukkan makruh
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلْكَرَاهَةِ
Artinya:
“Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).


[1] Kamal Muchtar, Ushul Fiqih, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 30
[2] Khairul Uman, Ushul Fiqih II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 108-109
[3] Ibid, hlm. 110
[4] Ibid, hlm. 112
[5] Ibid, hlm. 114-115
[6]  Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 233-234
[7] Khairul Umam, Op.Cit, hlm. 119
[8] Ibid, hlm. 120
[9] Ibid, hlm. 121
[10] Ibid, hlm. 122


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum Islam atau ilmu fiqih. Pembahasaan dari segi bahasa sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Adapun objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqih juga Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fiqih.
Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantara yang sangat penting dan akan dikemukakan disini antara lain tentang Amar dan Nahi.
Kita harus memahami bahwa amar adalah lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan. Sedangkan nahi adalah mengajak untuk meninggalkan pekerjaan dengan perkataan dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya. Dalam makalah ini kami akan sedikit menjelaskan tentang lafal amar dan lafal nahi.

B.     Rumusan Masalah
Dari makalah yang kami buat ini, yang dapat kami paparkan adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang disebut dengan amar?
2.      Apa yang disebut dengan nahi?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Amar
1.      Pengertian Amar
Amar ialah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari lafadz amar (perintah) ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan dari pada tidak mengerjakan. Karena itu apabila Allah memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan artinya menunjukkan kepada kewajiban memenuhi perintahNya. Kalau ia sudah mukallaf (mendapat beban hukum) mendapat pahala bila ia telah mengerjakan dan mendapat siksa bila ia meninggalkan (tidak mengerjakan).[1]
Arti Amar
a.       Menujukkan wajib
اَلْأَصْلُ فِى الْأَمْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:
“Arti yang pokok dalam amar, ialah menunjukkan wajib” (wajibnya perbuatan yang diperintahkan).
b.      Menunjukkan anjuran
اَلْأَصْلُ فِى الْأَمْرِ لِلنَّدْبِ
Artinya:
 “Arti yang pokok dalam suruhan ialah menunjukkan anjuran” (nadb).
Alasannya adalah suruhan itu adakalanya untuk keharusan (wajib), seperti shalat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti shalat duha.
2.      Sighat Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:
a.         Berbentuk fiil amar atau perintah langsung
Misalnya, firman Allah:
أَقِيْمُوالصَّلوةَ – البقرة :34
Artinya:
“Dirikanlah shalat.” (Q.S Al-Baqarah : 43)
b.      Berbentuk mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
وَلْيَطَّوَّفُوْابِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ – الحج : 29
Artinya:
“…dan hendaklah melakukan thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah).” (Q.S Al-Haj : 29)
c.       Dan bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradha, kutiba, dan sebagainya.
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.
Imam Ar-Razi berkata didalam kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah sepakat menetapkan bahwa bentuk if’al (fiil amar) dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, lihat contoh dibawah ini.[2]
1.      Ijab (Wajib)
Contoh firman Allah:
أَقِيْمُوالصَّلوةَ – البقرة :34
Artinya:
”Dirikanlah Shalat.” (Q.S Al-Baqarah : 43)
2.      Nadab (Anjuran)
Contoh firman Allah:
فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا – النور : 33
Artinya:
”Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (Q.S An-Nur : 33)

3.      Takdib (Adab)
Contoh hadits Rasul:
كُلْ مِمَّايَلِيْكَ – رواه البخارى و مسلم
Artinya:”Makanlah apa yang ada didepanmu”
4.      Irsyad (Menunjuki)
Contoh firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوْاشَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ – البقرة : 282
Artinya:
”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki (diantaramu).” (Q.S Al-Baqarah : 282)
5.      Ibahah (kebolehan)
Contoh firman Allah:
وَكُلُوْاوَاشْرَبُوْاحَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِمِنَ الْفَجْرِ – البقرة : 187
Artinya:
”Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. ” (Q.S Al-Baqarah : 187)[3]
6.      Tahdid (Ancaman)
Contoh firman Allah:
...اِعْمَلُوْامَاشِئْتُمْ اِنَّهُ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ – فصلت : 40
Artinya:
“… Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Fushilat : 40)
7.      Inzhar (Peringatan)
Contoh firman Allah:
قُلْ تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ مَصِيْرَكُمْ إِلَى النَّارِ- ابراهيم : 30
Artinya:
”katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka”. (Q.S Ibrahim : 30)
8.      Ikram (Memuliakan)
Contoh firman Allah:
اُدْخُلُوْ هَابِسَلَامٍ اَمِنِيْنَ – الحجر : 46
Artinya:
”(Dikatakan kepada mereka) : masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman.” (Q.S Al-Hijr : 46)
9.      Taskhir (Penghinaan)
Contoh firman Allah:
...كُوْنُوْاقِرَدَةًخَسِئِيْنَ – البقرة : 65
Artinya:
”…Jadilah kamu sekalian kera yang hina.” (Q.S Al-Baqarah : 65)
10.  Ta’jiz (Melemahkan)
Contoh firman Allah:
فَأْتُوْابِسُوْرَةٍمِنْ مِثْلِهِ – البقرة : 23
Artinya:
”Datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama Al-Qur’an itu.” (Q.S Al-Baqarah : 23)
11.  Taswiyah (Mempersamakan)
Contoh firman Allah:
فَاصْبِرُوْاأَوْلَاتَصْبِرُوْا – الطور : 16
Artinya:
” …maka bersabar atau tidak...” (Q.S At-Thur : 16)[4]
12.  Tamanni (Angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
يَالَيْلُ طُلْ يَانَوْمُ زُلْ * يَاصُبْحُ قِفْ لَاتَطْلُعْ – ام قيس
Artinya:
Wahai sang malam! Memanjanglah
Wahai kantuk! Menghilanglah
Wahai waktu subuh! Berhentilah dahulu
Jangan segera datang (Syi’ir Ummul qais)
13.  Doa (Berdo’a)
Contoh firman Allah:
رَبِّ اغْفِرْ لِى – ص : 35
Artinya:
”Ya Allah ampunilah aku.” (Q.S Shad : 35)
14.  Ihanah (Meremehkan)
Contoh firman Allah:
دُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ – الدخان : 49
Artinya:
”Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.” (Q.S Ad-Dukhan : 49)
15.  Imtinan
Contoh firman Allah:
فَكُلُوْامِمَّارَزَقَكُمُ اللهُ – النحل : 114
Artinya:
”Makanlah apa yang direzekikan Allah kepadamu.” (Q.S An-Nahl : 114)
3.      Dilalah dan Tuntutan Amar
a.       Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al-Bardisy bahwa:
ذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ اِلَى أَنَّ الْأَمْرَيَدُلُّ عَلَى طَلَبِ الْمَأْمُوْرِبِهِ عَلَى سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ وَلَايُصْرَفُ
عَنْ اِفَادَةِ الْوُجُوْبِ اِلَى غَيْرِهِ اِلَّا اِذَا وُجِدَتْ قَرِيْنَةٌ تَدُ لُّ عَلَى ذَلِكَ.
Artinya:
”Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut.”
Juga berdasarkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَ مْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:”Arti yang pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya)  
   perbuatan yang diperintahkannya.”
Contoh firman Allah:
مَامَنَعَكَ اَنْ تَسْجُدَاِذْاَمَرْتُكَ – الأعراف : 12
Artinya:
”Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?” (Q.S Al-A’raf : 12)
Contoh lain firman Allah:
اُسْجُدُوْالِاَدَمَ فَسَجَدُوآاِلَّااِبْلِيْسَ – البقرة :34
Artinya:
”Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis.” (Q.S Al-Baqarah : 34)
Ayat pertama bukan ditujukan untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap Iblis karena enggan bersujud kepada Adam tanpa alasan, ketika Iblis diperintah sujud.[5]
Bentuk perintah amar dalam ayat kedua, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian/keharusan. Kalau tidak demikian, Allah tidak mencela Iblis karena kedurhakaannya itu.
Contoh lain hadits Rasul:
لَوْلَاأَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَكُلِّ صَلَاةٍ - الحديث
Artinya:
”Seandainya tidak akan memberatkan bagi umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada tiap-tiap hendak shalat.” (Al-Hadits)
Hadits tersebut di atas mengandung pengertian bahwa karena adanya masyaqah (kesulitan), maka tidak wajib bersiwak. Padahal ulama telah menyepakati bersama bahwa siwak disunahkan (nadab), namun nadab di sini bukanlah yang pokok, tetapi hanyalah karena adanya qarinah, yaitu masyaqah/kesulitan.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan suatu hal yang lain menunjukkan arti kemestian (wajib).
b.      Menunjukkan anjuran (nadab) berdasarkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَمْرِ لِلنَّدْبِ
Artinya:
”Arti yang pokok dalam amar atau suruhan itu ialah menunjukkan anjuran (nadab).”
Suruhan itu memang ada kalanya untuk suruhan (wajib), seperti sholat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadab) seperti sholat dhuha. Diantara kemestian dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran.
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlak lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.

B.     Nahi
1.      Pengertian Nahi
Dari segi bahasa Nahi artinya: “larangan” (man’un). Akal juga disebut nuhyah, karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Nahi menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.
Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.[6]
            Arti Nahi
a.       Menunjukkan haram
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang).”
Alasannya:
Apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharuskan yang diminta larangan itu. Apa yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf, apabila ada larangan yang tidak disertai qarinah.
Qarinah ialah kata-kata yang menyertai kata-kata larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menunjukkan haram.
b.      Menunjukkan makruh
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلْكَرَاهَةِ
Artinya:
“Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya:
Larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram. Lagi pula larangan itu adakalanya menunjukkan haram, adakalanya menunjukkan karahah. Antara keduanya yang paling diyakini ialah karahah. Sebab pada mulanya semua perbuatan boleh diperbuat. Yang lebih kuat ialah pendapat 1.
2.      Sighat Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Jika kalimat itu mempunyai qarinah, tidak menunjukkan hakikat larangan, seperti firman Allah SWT:
يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَاتَقْرَبُوْا الصَّلَوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى – النساء : 43
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk.” (QS An-Nisa:43)[7]
Sighat nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

a.      Untuk doa:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِدْنَااِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْنَا
Artinya:
”Hai Tuhan kami janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah.”
b.      Untuk pelajaran:
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya:
”Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.”
c.       Putus asa:
لَاتَعْدِرُوْا الْيَوْمَ
Artinya:
”Janganlah kamu cari-cari alasan hari ini.”
d.      Untuk menyenangkan (menghibur):
وَلَاتَحْزَنْ اِنَّ اللهَ مَعَنَا
Artinya:
”Jangan kamu gentar bahwa sesungguhnya Allah bersama kita.”
e.       Untuk menghardik, seperti perkataan majikan kepada budaknya:
“Jangan engkau lakukan perbuatan itu.”
Adapun Nahi itu sendiri terbagi dalam:[8]
a)      Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri, sebagaimana contoh diatas yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak).
b)      Nahi yang menunjukkan juz’i dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
c)      Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tak dapat dipisahkan, misalnya larangan berpuasa pada hari raya , karena hikmah dari hari raya itu ialah agar tiap orang dapat menikmati kegembiraan makan minum dihari tersebut.
d)     Nahi yang menunjukkan hal-hal diluar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan perbuatan itu. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu dalam shalat jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.
3.      Dilalah dan Tuntutan  Nahi
a.      Perintah sesudah larangan
Setelah memperhatikan segala perintah syara’ yang datang sesudah larangan, ternyata bahwa perintah sesudah larangan itu menunjukkan boleh (mubah), terkecuali jika ada nash yang menegaskan kefarduannya.
b.      Suruhan tidak menghendaki berulang kali dikerjakan
Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya orang yang disuruh itu berulang-ulang mengerjakannya dan tidak pula menunjukkan kepadanya agar satu kali saja mengerjakannya. Perintah itu hanya memberi pengertian bahwa perbuatan tersebut harus kita kerjakan. Oleh karena itu, cukuplah kita menunaikan perintah tersebut dengan ssekali mengerjakan saja.
c.       Suruhan tidak menghendaki segera dikerjakan
Suruhan yang di-qaid-kan dengan waktu akan gugur bila gugur waktunya karena harus dikerjakan dalam waktunya, sebagaimana yang dijelaskan dalam bab hukum.
Jika tidak terpaut dengan waktu, seperti kaffarah dan mengqada puasa yang ditinggalkan, maka para ahli usul berselisih paham.
Ada yang menyuruh untuk menyegerakan pelaksanaannya ada pula yang tidak menurut pentahqiqan yang benar dari paham-paham ini ialah boleh menakhirkannya asal saja tidak meninggalkannya. Namun, sangat disukai bila dilakukan dengan segera. Hal ini bila kita hanya melihat zat suruhan. Akan tetapi, banyak keterangan agama yang menyuruh kita segera melaksanakan perintah, diantaranya:[9]
وَسَارِعُوْا اِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ – ال عمران : 133
Artinya:
”Dan cepat-cepatlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surgaNya.” (Q.S Ali Imran : 133)

Dan Allah SWT berfirman pula :
فَاسْتَبِقُوْا الخَيْرَاتِ – البقرة : 148
Artinya:
”Maka berlomba-lombalah kepada kebaikan.” (Q.S Al-Baqarah : 148)
Ayat ini memberi pengertian bahwa kita diperintahkan menyegerakan penyelesaian tugas.oleh karena itu, dapatlah kita katakan bahwa golongan yang membolehkan kita menunda (memperlambat) itu melihat pada pengertian yang diperoleh dari suruhan saja.[10]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Amar ialah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari lafadz amar (perintah) ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan dari pada tidak mengerjakan.
2.      Dari segi bahasa Nahi artinya: “larangan” (man’un). Akal juga disebut nuhyah, karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah. Nahi menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
            Arti Nahi
a.       Menunjukkan haram
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang).”
b.      Menunjukkan makruh
اَلْأَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلْكَرَاهَةِ
Artinya:
“Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).


[1] Kamal Muchtar, Ushul Fiqih, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 30
[2] Khairul Uman, Ushul Fiqih II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 108-109
[3] Ibid, hlm. 110
[4] Ibid, hlm. 112
[5] Ibid, hlm. 114-115
[6]  Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 233-234
[7] Khairul Umam, Op.Cit, hlm. 119
[8] Ibid, hlm. 120
[9] Ibid, hlm. 121
[10] Ibid, hlm. 122

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus

Puncak Natas Angin; Puncak dengan Jalur yang istimewa

Setelah beberapa lama merindukan angin malam diatas ketinggian, kali ini aku punya kesempatan untuk menakhlukan Puncak Natas angin bersama ...