BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi
penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam
khususnya dalam ilmu hukum Islam atau ilmu fiqih. Pembahasaan dari segi bahasa
sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan
Hadits. Adapun objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqih juga Al-Qur’an
dan Hadits. Sedangkan untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut
para ulama telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik
penalaran fiqih.
Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan
dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para
ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantara yang
sangat penting dan akan dikemukakan disini antara lain tentang Amar dan Nahi.
Kita harus memahami bahwa amar
adalah lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan.
Sedangkan nahi adalah mengajak untuk meninggalkan pekerjaan dengan perkataan
dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya. Dalam
makalah ini kami akan sedikit menjelaskan tentang lafal amar dan lafal nahi.
B.
Rumusan Masalah
Dari makalah
yang kami buat ini, yang dapat kami paparkan adalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang disebut dengan amar?
2.
Apa
yang disebut dengan nahi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Amar
1.
Pengertian Amar
Amar ialah tuntutan perbuatan dari
orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah
tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari lafadz amar (perintah)
ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang
diperintahkan dari pada tidak mengerjakan. Karena itu apabila Allah
memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan artinya
menunjukkan kepada kewajiban memenuhi perintahNya. Kalau ia sudah mukallaf
(mendapat beban hukum) mendapat pahala bila ia telah mengerjakan dan mendapat
siksa bila ia meninggalkan (tidak mengerjakan).[1]
Arti Amar
a.
Menujukkan
wajib
اَلْأَصْلُ
فِى الْأَمْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:
“Arti
yang pokok dalam amar, ialah menunjukkan wajib” (wajibnya perbuatan yang
diperintahkan).
b.
Menunjukkan
anjuran
اَلْأَصْلُ
فِى الْأَمْرِ لِلنَّدْبِ
Artinya:
“Arti
yang pokok dalam suruhan ialah menunjukkan anjuran” (nadb).
Alasannya adalah suruhan itu
adakalanya untuk keharusan (wajib), seperti shalat lima waktu, adakalanya untuk
anjuran (nadb), seperti shalat duha.
2.
Sighat Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung
pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:
a.
Berbentuk
fiil amar atau perintah langsung
Misalnya, firman Allah:
أَقِيْمُوالصَّلوةَ
– البقرة :34
Artinya:
“Dirikanlah shalat.” (Q.S Al-Baqarah : 43)
b.
Berbentuk
mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
وَلْيَطَّوَّفُوْابِالْبَيْتِ
الْعَتِيْقِ – الحج : 29
Artinya:
“…dan hendaklah
melakukan thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah).” (Q.S Al-Haj : 29)
c.
Dan
bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradha, kutiba, dan
sebagainya.
Bentuk amar kadang-kadang keluar
dari maknanya yang asli dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang
dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.
Imam Ar-Razi berkata didalam
kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah sepakat menetapkan bahwa
bentuk if’al (fiil amar) dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan
qarinah yang mempengaruhinya, lihat contoh dibawah ini.[2]
1.
Ijab (Wajib)
Contoh firman
Allah:
أَقِيْمُوالصَّلوةَ
– البقرة :34
Artinya:
”Dirikanlah Shalat.” (Q.S Al-Baqarah : 43)
2.
Nadab (Anjuran)
Contoh firman Allah:
فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ
عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا – النور : 33
Artinya:
”Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepadamu.” (Q.S
An-Nur : 33)
3.
Takdib (Adab)
Contoh hadits Rasul:
كُلْ مِمَّايَلِيْكَ –
رواه البخارى و مسلم
Artinya:”Makanlah apa yang ada didepanmu”
4.
Irsyad (Menunjuki)
Contoh firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوْاشَهِيْدَيْنِ
مِنْ رِجَالِكُمْ – البقرة : 282
Artinya:
”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang lelaki (diantaramu).” (Q.S
Al-Baqarah : 282)
5.
Ibahah (kebolehan)
Contoh firman Allah:
وَكُلُوْاوَاشْرَبُوْاحَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِمِنَ
الْفَجْرِ – البقرة : 187
Artinya:
”Makan dan minumlah hingga jelas bagimu
benang putih dari benang hitam yaitu fajar. ” (Q.S
Al-Baqarah : 187)[3]
6.
Tahdid (Ancaman)
Contoh firman Allah:
...اِعْمَلُوْامَاشِئْتُمْ اِنَّهُ
بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ – فصلت : 40
Artinya:
“… Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki.
Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Fushilat : 40)
7.
Inzhar (Peringatan)
Contoh firman Allah:
قُلْ تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ
مَصِيْرَكُمْ إِلَى النَّارِ- ابراهيم : 30
Artinya:
”katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat
kembalimu adalah neraka”. (Q.S Ibrahim :
30)
8.
Ikram (Memuliakan)
Contoh firman Allah:
اُدْخُلُوْ
هَابِسَلَامٍ اَمِنِيْنَ – الحجر : 46
Artinya:
”(Dikatakan kepada mereka) : masuklah ke dalamnya dengan sejahtera
lagi aman.” (Q.S Al-Hijr :
46)
9.
Taskhir (Penghinaan)
Contoh firman Allah:
...كُوْنُوْاقِرَدَةًخَسِئِيْنَ
– البقرة : 65
Artinya:
”…Jadilah kamu sekalian kera yang hina.” (Q.S Al-Baqarah : 65)
10.
Ta’jiz (Melemahkan)
Contoh firman
Allah:
فَأْتُوْابِسُوْرَةٍمِنْ
مِثْلِهِ – البقرة : 23
Artinya:
”Datangkanlah
satu surat (saja) yang seumpama Al-Qur’an itu.” (Q.S Al-Baqarah : 23)
11.
Taswiyah (Mempersamakan)
Contoh firman Allah:
فَاصْبِرُوْاأَوْلَاتَصْبِرُوْا
– الطور : 16
Artinya:
” …maka bersabar atau tidak...” (Q.S
At-Thur : 16)[4]
12.
Tamanni (Angan-angan)
Contoh Syi’ir
Arab:
يَالَيْلُ
طُلْ يَانَوْمُ زُلْ * يَاصُبْحُ قِفْ لَاتَطْلُعْ – ام قيس
Artinya:
Wahai
sang malam! Memanjanglah
Wahai
kantuk! Menghilanglah
Wahai
waktu subuh! Berhentilah dahulu
Jangan
segera datang (Syi’ir Ummul qais)
13.
Doa (Berdo’a)
Contoh firman
Allah:
رَبِّ
اغْفِرْ لِى – ص : 35
Artinya:
”Ya
Allah ampunilah aku.” (Q.S Shad : 35)
14.
Ihanah (Meremehkan)
Contoh firman
Allah:
دُقْ
إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ – الدخان : 49
Artinya:
”Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.” (Q.S Ad-Dukhan : 49)
15.
Imtinan
Contoh firman
Allah:
فَكُلُوْامِمَّارَزَقَكُمُ
اللهُ – النحل : 114
Artinya:
”Makanlah
apa yang direzekikan Allah kepadamu.” (Q.S
An-Nahl : 114)
3.
Dilalah dan Tuntutan Amar
a.
Menunjukkan
wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al-Bardisy bahwa:
ذَهَبَ
الْجُمْهُوْرُ اِلَى أَنَّ الْأَمْرَيَدُلُّ عَلَى طَلَبِ الْمَأْمُوْرِبِهِ عَلَى
سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ وَلَايُصْرَفُ
عَنْ
اِفَادَةِ الْوُجُوْبِ اِلَى غَيْرِهِ اِلَّا اِذَا وُجِدَتْ قَرِيْنَةٌ تَدُ لُّ
عَلَى ذَلِكَ.
Artinya:
”Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya
suatu tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu)
dari ketentuan amar tersebut.”
Juga berdasarkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَ
مْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:”Arti yang pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib
(wajibnya)
perbuatan yang
diperintahkannya.”
Contoh firman Allah:
مَامَنَعَكَ اَنْ
تَسْجُدَاِذْاَمَرْتُكَ – الأعراف : 12
Artinya:
”Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu
aku menyuruhmu?” (Q.S Al-A’raf :
12)
Contoh lain firman Allah:
اُسْجُدُوْالِاَدَمَ
فَسَجَدُوآاِلَّااِبْلِيْسَ – البقرة :34
Artinya:
”Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis.” (Q.S Al-Baqarah : 34)
Ayat pertama bukan ditujukan untuk
bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap Iblis karena enggan bersujud
kepada Adam tanpa alasan, ketika Iblis diperintah sujud.[5]
Bentuk perintah amar dalam
ayat kedua, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak
disertai qarinah menunjukkan kemestian/keharusan. Kalau tidak demikian,
Allah tidak mencela Iblis karena kedurhakaannya itu.
Contoh lain hadits Rasul:
لَوْلَاأَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَكُلِّ صَلَاةٍ -
الحديث
Artinya:
”Seandainya tidak akan memberatkan bagi
umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada tiap-tiap hendak shalat.” (Al-Hadits)
Hadits tersebut di atas mengandung
pengertian bahwa karena adanya masyaqah (kesulitan), maka tidak wajib
bersiwak. Padahal ulama telah menyepakati bersama bahwa siwak disunahkan (nadab),
namun nadab di sini bukanlah yang pokok, tetapi hanyalah karena adanya qarinah,
yaitu masyaqah/kesulitan.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah
atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan suatu hal yang lain menunjukkan
arti kemestian (wajib).
b.
Menunjukkan
anjuran (nadab) berdasarkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى
الْأَمْرِ لِلنَّدْبِ
Artinya:
”Arti yang pokok dalam amar atau suruhan
itu ialah menunjukkan anjuran (nadab).”
Suruhan itu memang ada kalanya untuk
suruhan (wajib), seperti sholat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadab)
seperti sholat dhuha. Diantara kemestian dan anjuran yang paling diyakini
adalah anjuran.
Kesimpulannya, amar tetap mengandung
arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlak lagi, atau terdapat
qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula,
yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum
sunah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.
B.
Nahi
1.
Pengertian Nahi
Dari segi bahasa Nahi artinya:
“larangan” (man’un). Akal juga disebut nuhyah, karena dia dapat mencegah orang
yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Nahi menurut syara’ ialah tuntutan
untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada
orang yang lebih rendah tingkatannya.
Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu
fiil mudhari’ yang disertai la nahi.[6]
Arti Nahi
a.
Menunjukkan
haram
اَلْأَصْلُ
فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang).”
Alasannya:
Apabila ada kata-kata larangan yang
tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharuskan yang diminta
larangan itu. Apa yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang
sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf, apabila ada larangan yang tidak
disertai qarinah.
Qarinah ialah kata-kata yang
menyertai kata-kata larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menunjukkan
haram.
b.
Menunjukkan
makruh
اَلْأَصْلُ
فِى النَّهْيِ لِلْكَرَاهَةِ
Artinya:
“Bermula
larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya:
Larangan itu
hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan
ini tidak berarti haram. Lagi pula larangan itu adakalanya menunjukkan haram,
adakalanya menunjukkan karahah. Antara keduanya yang paling diyakini ialah
karahah. Sebab pada mulanya semua perbuatan boleh diperbuat. Yang lebih kuat
ialah pendapat 1.
2.
Sighat Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki
qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Jika kalimat itu mempunyai
qarinah, tidak menunjukkan hakikat larangan, seperti firman Allah SWT:
يَااَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَاتَقْرَبُوْا الصَّلَوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى – النساء : 43
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam
keadaan mabuk.” (QS
An-Nisa:43)[7]
Sighat nahi mengandung beberapa
pengertian, antara lain sebagai berikut:
a.
Untuk doa:
رَبَّنَا
لَا تُؤَاخِدْنَااِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْنَا
Artinya:
”Hai Tuhan kami janganlah engkau
hukum kami, bila kami lupa atau salah.”
b.
Untuk pelajaran:
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ
اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya:
”Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
niscaya menyusahkan kamu.”
c.
Putus asa:
لَاتَعْدِرُوْا
الْيَوْمَ
Artinya:
”Janganlah kamu cari-cari alasan
hari ini.”
d.
Untuk menyenangkan (menghibur):
وَلَاتَحْزَنْ
اِنَّ اللهَ مَعَنَا
Artinya:
”Jangan kamu gentar bahwa
sesungguhnya Allah bersama kita.”
e.
Untuk
menghardik, seperti perkataan majikan kepada budaknya:
“Jangan engkau lakukan perbuatan itu.”
Adapun Nahi itu sendiri terbagi dalam:[8]
a)
Nahi
yang menunjukkan perbuatan itu sendiri, sebagaimana contoh diatas
yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak).
b)
Nahi yang menunjukkan juz’i dari perbuatan (bagian dari
perbuatan). Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam
kandungan ibunya.
c)
Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tak dapat dipisahkan,
misalnya larangan berpuasa pada hari raya , karena hikmah dari hari raya itu
ialah agar tiap orang dapat menikmati kegembiraan makan minum dihari tersebut.
d)
Nahi yang menunjukkan hal-hal diluar perbuatan yang tidak mesti
berhubungan dengan perbuatan itu. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu
dalam shalat jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.
3.
Dilalah dan Tuntutan Nahi
a.
Perintah sesudah larangan
Setelah
memperhatikan segala perintah syara’ yang datang sesudah larangan, ternyata
bahwa perintah sesudah larangan itu menunjukkan boleh (mubah), terkecuali jika
ada nash yang menegaskan kefarduannya.
b.
Suruhan tidak menghendaki berulang kali dikerjakan
Suruhan-suruhan
syara’ tidak menghendaki supaya orang yang disuruh itu berulang-ulang
mengerjakannya dan tidak pula menunjukkan kepadanya agar satu kali saja
mengerjakannya. Perintah itu hanya memberi pengertian bahwa perbuatan tersebut
harus kita kerjakan. Oleh karena itu, cukuplah kita menunaikan perintah
tersebut dengan ssekali mengerjakan saja.
c.
Suruhan tidak menghendaki segera dikerjakan
Suruhan yang
di-qaid-kan dengan waktu akan gugur bila gugur waktunya karena harus dikerjakan
dalam waktunya, sebagaimana yang dijelaskan dalam bab hukum.
Jika tidak terpaut dengan waktu,
seperti kaffarah dan mengqada puasa yang ditinggalkan, maka para ahli usul
berselisih paham.
Ada yang menyuruh untuk menyegerakan
pelaksanaannya ada pula yang tidak menurut pentahqiqan yang benar dari
paham-paham ini ialah boleh menakhirkannya asal saja tidak meninggalkannya.
Namun, sangat disukai bila dilakukan dengan segera. Hal ini bila kita hanya
melihat zat suruhan. Akan tetapi, banyak keterangan agama yang menyuruh kita
segera melaksanakan perintah, diantaranya:[9]
وَسَارِعُوْا
اِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ – ال عمران : 133
Artinya:
”Dan
cepat-cepatlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surgaNya.” (Q.S Ali Imran : 133)
Dan Allah SWT
berfirman pula :
فَاسْتَبِقُوْا
الخَيْرَاتِ – البقرة : 148
Artinya:
”Maka
berlomba-lombalah kepada kebaikan.” (Q.S
Al-Baqarah : 148)
Ayat ini memberi pengertian bahwa
kita diperintahkan menyegerakan penyelesaian tugas.oleh karena itu, dapatlah
kita katakan bahwa golongan yang membolehkan kita menunda (memperlambat) itu
melihat pada pengertian yang diperoleh dari suruhan saja.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Amar
ialah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang
yang lebih rendah tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari
lafadz amar (perintah) ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang
diperintahkan dari pada tidak mengerjakan.
2.
Dari
segi bahasa Nahi artinya: “larangan” (man’un). Akal juga disebut nuhyah, karena
dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah. Nahi
menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang
lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuk
nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti Nahi
a.
Menunjukkan
haram
اَلْأَصْلُ
فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang).”
b.
Menunjukkan
makruh
اَلْأَصْلُ
فِى النَّهْيِ لِلْكَرَاهَةِ
Artinya:
“Bermula
larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
[1] Kamal Muchtar,
Ushul Fiqih, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 30
[2] Khairul Uman, Ushul
Fiqih II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 108-109
[3] Ibid, hlm.
110
[4] Ibid, hlm.
112
[5] Ibid, hlm.
114-115
[6] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 233-234
[7] Khairul Umam, Op.Cit,
hlm. 119
[8] Ibid, hlm.
120
[9] Ibid, hlm.
121
[10] Ibid, hlm.
122
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi
penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam
khususnya dalam ilmu hukum Islam atau ilmu fiqih. Pembahasaan dari segi bahasa
sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan
Hadits. Adapun objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqih juga Al-Qur’an
dan Hadits. Sedangkan untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut
para ulama telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik
penalaran fiqih.
Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan
dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para
ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantara yang
sangat penting dan akan dikemukakan disini antara lain tentang Amar dan Nahi.
Kita harus memahami bahwa amar
adalah lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan.
Sedangkan nahi adalah mengajak untuk meninggalkan pekerjaan dengan perkataan
dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya. Dalam
makalah ini kami akan sedikit menjelaskan tentang lafal amar dan lafal nahi.
B.
Rumusan Masalah
Dari makalah
yang kami buat ini, yang dapat kami paparkan adalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang disebut dengan amar?
2.
Apa
yang disebut dengan nahi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Amar
1.
Pengertian Amar
Amar ialah tuntutan perbuatan dari
orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah
tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari lafadz amar (perintah)
ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang
diperintahkan dari pada tidak mengerjakan. Karena itu apabila Allah
memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan artinya
menunjukkan kepada kewajiban memenuhi perintahNya. Kalau ia sudah mukallaf
(mendapat beban hukum) mendapat pahala bila ia telah mengerjakan dan mendapat
siksa bila ia meninggalkan (tidak mengerjakan).[1]
Arti Amar
a.
Menujukkan
wajib
اَلْأَصْلُ
فِى الْأَمْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:
“Arti
yang pokok dalam amar, ialah menunjukkan wajib” (wajibnya perbuatan yang
diperintahkan).
b.
Menunjukkan
anjuran
اَلْأَصْلُ
فِى الْأَمْرِ لِلنَّدْبِ
Artinya:
“Arti
yang pokok dalam suruhan ialah menunjukkan anjuran” (nadb).
Alasannya adalah suruhan itu
adakalanya untuk keharusan (wajib), seperti shalat lima waktu, adakalanya untuk
anjuran (nadb), seperti shalat duha.
2.
Sighat Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung
pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:
a.
Berbentuk
fiil amar atau perintah langsung
Misalnya, firman Allah:
أَقِيْمُوالصَّلوةَ
– البقرة :34
Artinya:
“Dirikanlah shalat.” (Q.S Al-Baqarah : 43)
b.
Berbentuk
mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
وَلْيَطَّوَّفُوْابِالْبَيْتِ
الْعَتِيْقِ – الحج : 29
Artinya:
“…dan hendaklah
melakukan thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah).” (Q.S Al-Haj : 29)
c.
Dan
bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradha, kutiba, dan
sebagainya.
Bentuk amar kadang-kadang keluar
dari maknanya yang asli dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang
dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.
Imam Ar-Razi berkata didalam
kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah sepakat menetapkan bahwa
bentuk if’al (fiil amar) dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan
qarinah yang mempengaruhinya, lihat contoh dibawah ini.[2]
1.
Ijab (Wajib)
Contoh firman
Allah:
أَقِيْمُوالصَّلوةَ
– البقرة :34
Artinya:
”Dirikanlah Shalat.” (Q.S Al-Baqarah : 43)
2.
Nadab (Anjuran)
Contoh firman Allah:
فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ
عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا – النور : 33
Artinya:
”Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepadamu.” (Q.S
An-Nur : 33)
3.
Takdib (Adab)
Contoh hadits Rasul:
كُلْ مِمَّايَلِيْكَ –
رواه البخارى و مسلم
Artinya:”Makanlah apa yang ada didepanmu”
4.
Irsyad (Menunjuki)
Contoh firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوْاشَهِيْدَيْنِ
مِنْ رِجَالِكُمْ – البقرة : 282
Artinya:
”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang lelaki (diantaramu).” (Q.S
Al-Baqarah : 282)
5.
Ibahah (kebolehan)
Contoh firman Allah:
وَكُلُوْاوَاشْرَبُوْاحَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِمِنَ
الْفَجْرِ – البقرة : 187
Artinya:
”Makan dan minumlah hingga jelas bagimu
benang putih dari benang hitam yaitu fajar. ” (Q.S
Al-Baqarah : 187)[3]
6.
Tahdid (Ancaman)
Contoh firman Allah:
...اِعْمَلُوْامَاشِئْتُمْ اِنَّهُ
بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ – فصلت : 40
Artinya:
“… Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki.
Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Fushilat : 40)
7.
Inzhar (Peringatan)
Contoh firman Allah:
قُلْ تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ
مَصِيْرَكُمْ إِلَى النَّارِ- ابراهيم : 30
Artinya:
”katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat
kembalimu adalah neraka”. (Q.S Ibrahim :
30)
8.
Ikram (Memuliakan)
Contoh firman Allah:
اُدْخُلُوْ
هَابِسَلَامٍ اَمِنِيْنَ – الحجر : 46
Artinya:
”(Dikatakan kepada mereka) : masuklah ke dalamnya dengan sejahtera
lagi aman.” (Q.S Al-Hijr :
46)
9.
Taskhir (Penghinaan)
Contoh firman Allah:
...كُوْنُوْاقِرَدَةًخَسِئِيْنَ
– البقرة : 65
Artinya:
”…Jadilah kamu sekalian kera yang hina.” (Q.S Al-Baqarah : 65)
10.
Ta’jiz (Melemahkan)
Contoh firman
Allah:
فَأْتُوْابِسُوْرَةٍمِنْ
مِثْلِهِ – البقرة : 23
Artinya:
”Datangkanlah
satu surat (saja) yang seumpama Al-Qur’an itu.” (Q.S Al-Baqarah : 23)
11.
Taswiyah (Mempersamakan)
Contoh firman Allah:
فَاصْبِرُوْاأَوْلَاتَصْبِرُوْا
– الطور : 16
Artinya:
” …maka bersabar atau tidak...” (Q.S
At-Thur : 16)[4]
12.
Tamanni (Angan-angan)
Contoh Syi’ir
Arab:
يَالَيْلُ
طُلْ يَانَوْمُ زُلْ * يَاصُبْحُ قِفْ لَاتَطْلُعْ – ام قيس
Artinya:
Wahai
sang malam! Memanjanglah
Wahai
kantuk! Menghilanglah
Wahai
waktu subuh! Berhentilah dahulu
Jangan
segera datang (Syi’ir Ummul qais)
13.
Doa (Berdo’a)
Contoh firman
Allah:
رَبِّ
اغْفِرْ لِى – ص : 35
Artinya:
”Ya
Allah ampunilah aku.” (Q.S Shad : 35)
14.
Ihanah (Meremehkan)
Contoh firman
Allah:
دُقْ
إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ – الدخان : 49
Artinya:
”Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.” (Q.S Ad-Dukhan : 49)
15.
Imtinan
Contoh firman
Allah:
فَكُلُوْامِمَّارَزَقَكُمُ
اللهُ – النحل : 114
Artinya:
”Makanlah
apa yang direzekikan Allah kepadamu.” (Q.S
An-Nahl : 114)
3.
Dilalah dan Tuntutan Amar
a.
Menunjukkan
wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al-Bardisy bahwa:
ذَهَبَ
الْجُمْهُوْرُ اِلَى أَنَّ الْأَمْرَيَدُلُّ عَلَى طَلَبِ الْمَأْمُوْرِبِهِ عَلَى
سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ وَلَايُصْرَفُ
عَنْ
اِفَادَةِ الْوُجُوْبِ اِلَى غَيْرِهِ اِلَّا اِذَا وُجِدَتْ قَرِيْنَةٌ تَدُ لُّ
عَلَى ذَلِكَ.
Artinya:
”Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya
suatu tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu)
dari ketentuan amar tersebut.”
Juga berdasarkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَ
مْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:”Arti yang pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib
(wajibnya)
perbuatan yang
diperintahkannya.”
Contoh firman Allah:
مَامَنَعَكَ اَنْ
تَسْجُدَاِذْاَمَرْتُكَ – الأعراف : 12
Artinya:
”Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu
aku menyuruhmu?” (Q.S Al-A’raf :
12)
Contoh lain firman Allah:
اُسْجُدُوْالِاَدَمَ
فَسَجَدُوآاِلَّااِبْلِيْسَ – البقرة :34
Artinya:
”Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis.” (Q.S Al-Baqarah : 34)
Ayat pertama bukan ditujukan untuk
bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap Iblis karena enggan bersujud
kepada Adam tanpa alasan, ketika Iblis diperintah sujud.[5]
Bentuk perintah amar dalam
ayat kedua, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak
disertai qarinah menunjukkan kemestian/keharusan. Kalau tidak demikian,
Allah tidak mencela Iblis karena kedurhakaannya itu.
Contoh lain hadits Rasul:
لَوْلَاأَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَكُلِّ صَلَاةٍ -
الحديث
Artinya:
”Seandainya tidak akan memberatkan bagi
umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada tiap-tiap hendak shalat.” (Al-Hadits)
Hadits tersebut di atas mengandung
pengertian bahwa karena adanya masyaqah (kesulitan), maka tidak wajib
bersiwak. Padahal ulama telah menyepakati bersama bahwa siwak disunahkan (nadab),
namun nadab di sini bukanlah yang pokok, tetapi hanyalah karena adanya qarinah,
yaitu masyaqah/kesulitan.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah
atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan suatu hal yang lain menunjukkan
arti kemestian (wajib).
b.
Menunjukkan
anjuran (nadab) berdasarkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى
الْأَمْرِ لِلنَّدْبِ
Artinya:
”Arti yang pokok dalam amar atau suruhan
itu ialah menunjukkan anjuran (nadab).”
Suruhan itu memang ada kalanya untuk
suruhan (wajib), seperti sholat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadab)
seperti sholat dhuha. Diantara kemestian dan anjuran yang paling diyakini
adalah anjuran.
Kesimpulannya, amar tetap mengandung
arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlak lagi, atau terdapat
qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula,
yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum
sunah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.
B.
Nahi
1.
Pengertian Nahi
Dari segi bahasa Nahi artinya:
“larangan” (man’un). Akal juga disebut nuhyah, karena dia dapat mencegah orang
yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Nahi menurut syara’ ialah tuntutan
untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada
orang yang lebih rendah tingkatannya.
Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu
fiil mudhari’ yang disertai la nahi.[6]
Arti Nahi
a.
Menunjukkan
haram
اَلْأَصْلُ
فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang).”
Alasannya:
Apabila ada kata-kata larangan yang
tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharuskan yang diminta
larangan itu. Apa yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang
sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf, apabila ada larangan yang tidak
disertai qarinah.
Qarinah ialah kata-kata yang
menyertai kata-kata larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menunjukkan
haram.
b.
Menunjukkan
makruh
اَلْأَصْلُ
فِى النَّهْيِ لِلْكَرَاهَةِ
Artinya:
“Bermula
larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya:
Larangan itu
hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan
ini tidak berarti haram. Lagi pula larangan itu adakalanya menunjukkan haram,
adakalanya menunjukkan karahah. Antara keduanya yang paling diyakini ialah
karahah. Sebab pada mulanya semua perbuatan boleh diperbuat. Yang lebih kuat
ialah pendapat 1.
2.
Sighat Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki
qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Jika kalimat itu mempunyai
qarinah, tidak menunjukkan hakikat larangan, seperti firman Allah SWT:
يَااَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَاتَقْرَبُوْا الصَّلَوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى – النساء : 43
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam
keadaan mabuk.” (QS
An-Nisa:43)[7]
Sighat nahi mengandung beberapa
pengertian, antara lain sebagai berikut:
a.
Untuk doa:
رَبَّنَا
لَا تُؤَاخِدْنَااِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْنَا
Artinya:
”Hai Tuhan kami janganlah engkau
hukum kami, bila kami lupa atau salah.”
b.
Untuk pelajaran:
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ
اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya:
”Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
niscaya menyusahkan kamu.”
c.
Putus asa:
لَاتَعْدِرُوْا
الْيَوْمَ
Artinya:
”Janganlah kamu cari-cari alasan
hari ini.”
d.
Untuk menyenangkan (menghibur):
وَلَاتَحْزَنْ
اِنَّ اللهَ مَعَنَا
Artinya:
”Jangan kamu gentar bahwa
sesungguhnya Allah bersama kita.”
e.
Untuk
menghardik, seperti perkataan majikan kepada budaknya:
“Jangan engkau lakukan perbuatan itu.”
Adapun Nahi itu sendiri terbagi dalam:[8]
a)
Nahi
yang menunjukkan perbuatan itu sendiri, sebagaimana contoh diatas
yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak).
b)
Nahi yang menunjukkan juz’i dari perbuatan (bagian dari
perbuatan). Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam
kandungan ibunya.
c)
Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tak dapat dipisahkan,
misalnya larangan berpuasa pada hari raya , karena hikmah dari hari raya itu
ialah agar tiap orang dapat menikmati kegembiraan makan minum dihari tersebut.
d)
Nahi yang menunjukkan hal-hal diluar perbuatan yang tidak mesti
berhubungan dengan perbuatan itu. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu
dalam shalat jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.
3.
Dilalah dan Tuntutan Nahi
a.
Perintah sesudah larangan
Setelah
memperhatikan segala perintah syara’ yang datang sesudah larangan, ternyata
bahwa perintah sesudah larangan itu menunjukkan boleh (mubah), terkecuali jika
ada nash yang menegaskan kefarduannya.
b.
Suruhan tidak menghendaki berulang kali dikerjakan
Suruhan-suruhan
syara’ tidak menghendaki supaya orang yang disuruh itu berulang-ulang
mengerjakannya dan tidak pula menunjukkan kepadanya agar satu kali saja
mengerjakannya. Perintah itu hanya memberi pengertian bahwa perbuatan tersebut
harus kita kerjakan. Oleh karena itu, cukuplah kita menunaikan perintah
tersebut dengan ssekali mengerjakan saja.
c.
Suruhan tidak menghendaki segera dikerjakan
Suruhan yang
di-qaid-kan dengan waktu akan gugur bila gugur waktunya karena harus dikerjakan
dalam waktunya, sebagaimana yang dijelaskan dalam bab hukum.
Jika tidak terpaut dengan waktu,
seperti kaffarah dan mengqada puasa yang ditinggalkan, maka para ahli usul
berselisih paham.
Ada yang menyuruh untuk menyegerakan
pelaksanaannya ada pula yang tidak menurut pentahqiqan yang benar dari
paham-paham ini ialah boleh menakhirkannya asal saja tidak meninggalkannya.
Namun, sangat disukai bila dilakukan dengan segera. Hal ini bila kita hanya
melihat zat suruhan. Akan tetapi, banyak keterangan agama yang menyuruh kita
segera melaksanakan perintah, diantaranya:[9]
وَسَارِعُوْا
اِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ – ال عمران : 133
Artinya:
”Dan
cepat-cepatlah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surgaNya.” (Q.S Ali Imran : 133)
Dan Allah SWT
berfirman pula :
فَاسْتَبِقُوْا
الخَيْرَاتِ – البقرة : 148
Artinya:
”Maka
berlomba-lombalah kepada kebaikan.” (Q.S
Al-Baqarah : 148)
Ayat ini memberi pengertian bahwa
kita diperintahkan menyegerakan penyelesaian tugas.oleh karena itu, dapatlah
kita katakan bahwa golongan yang membolehkan kita menunda (memperlambat) itu
melihat pada pengertian yang diperoleh dari suruhan saja.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Amar
ialah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang
yang lebih rendah tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari
lafadz amar (perintah) ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang
diperintahkan dari pada tidak mengerjakan.
2.
Dari
segi bahasa Nahi artinya: “larangan” (man’un). Akal juga disebut nuhyah, karena
dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah. Nahi
menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang
lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuk
nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti Nahi
a.
Menunjukkan
haram
اَلْأَصْلُ
فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Bermula larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang).”
b.
Menunjukkan
makruh
اَلْأَصْلُ
فِى النَّهْيِ لِلْكَرَاهَةِ
Artinya:
“Bermula
larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
[1] Kamal Muchtar,
Ushul Fiqih, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 30
[2] Khairul Uman, Ushul
Fiqih II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 108-109
[3] Ibid, hlm.
110
[4] Ibid, hlm.
112
[5] Ibid, hlm.
114-115
[6] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 233-234
[7] Khairul Umam, Op.Cit,
hlm. 119
[8] Ibid, hlm.
120
[9] Ibid, hlm.
121
[10] Ibid, hlm.
122